Benar kata Kenz, ia bilang ada nasionalisme dalam sepakbola. Namun, perlu diingat itu hanya terjadi selama event berlangsung, tidak setiap saat. Dalam berbagai event olahraga kini menjadi ruang bagi nasionalisme. Bulu tangkis bisa jadi merupakan fondasi nasionalisme Indonesia yang tersisa saat ini. Walaupun sudah meredup, paling tidak Indonesia masih diperhitungkan. Sepakbola sepertinya terlalu susah menyulut nasionalisme secara intensif, beda jika menjadi penyulut kerusuhan, ia sangatlah konsisten. Sederhananya, menurut saya, nasionalisme adalah euforia ia bisa redup-terang, pasang-surut, timbul-tenggelam. Nasionalisme selalu membutuhkan ruang untuk meng-ada, olahraga adalah salah satunya. Jika nasionalisme masih diinginkan dan dibutuhkan, ruang-ruang baru harus selalu dibuka dan diciptakan. Saya tekankan olahraga hanya salah satunya. dan lagi, jika nasionalisme hanya digantungkan pada olahraga. Akan bagus jika menang, tapi bagaimana jika kalah. Nasionalisme tetap ada tapi meredup, jika terus kalah akan makin redup, bukan mustahil suatu saat padam. Nasionalisme adalah imajinasi bagi rasa berbangsa, bernegara dan bertanah air. Jika nasionalisme itu padam, maka tak ada lagi bangsa, negara dan tanah air.
Ada hal menarik tentang nasionalisme dalam bulutangkis. Ini terkait dengan diskriminasi terhadap ras cina. Semua orang Indonesia tahu, atlit bulutangkis dari Liem Swei King sampai kini, banyak atlitnya keturunan cina. Secara de jure mereka adalah orang indonesia, namun mereka tetap memiliki tambahan label keturunan. Selama even pertandingan bulutangkis berlangsung, mereka menjadi sangat Indonesia. Perbedaan mereka yang keturunan menjadi lebur dalam "Indonesia". Seluruh negeri menjadi satu dalam nasionalisme. Jika menang nasionalisme membumbung tinggi, ingat saat Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma meraih emas tunggal putri dan putra dalam olimpiade. Seluruh negeri memuji mereka, tidak lagi memandang mereka keturunan cina atau pribumi, mereka Indonesia dan kita Indonesia, mari kita rayakan nasionalisme. Begitulah cerita kecil kebhinekaan dalam ruang olahraga yang menghidupkan nasionalisme. Semoga cerita kecil ini sering diungkap, supaya nasionalisme saat redup tak lagi mendua, menjadi pribumi dan keturunan.
Ada pula nasionalisme terjadwal, reguler, sebuah perayaan hari kemerdekaan yang sebentar lagi kita rayakan- ini juga sebuah ruang yang masih bisa menjadi persinggahan nasionalisme untuk mengada.
Ditulis di Loji Gandrung Solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar