Senin, 08 November 2010

Kota Sebagai Ruang (yang) Hidup

A great city is that which has the greatest men and women (Walt Whitman, 1819 - 1892).

Kutipan diatas bukan berasal dari seorang ahli tata ruang, tapi seorang penyair berkebangsaan Amerika yang hidup dua abad lampau. Bisa ditafsirkan dalam Bahasa Indonesia: Kota yang hebat adalah kota dengan laki-laki dan perempuannya yang hebat pula. Mungkin ia hendak mengingatkan bahwa kota adalah representasi dari manusia yang tinggal dan beraktivitas di dalamnya.

Kota merupakan buah dari peradaban manusia. Proses perkembangan peradaban manusia dari masa berburu-meramu, bercocoktanam hingga perdagangan dan jasa terekam dalam pertumbuhan suatu kota. Edward Soja seorang urbanist (demikian sebutan yang dia buat untuk mendefinisikan orang yang mempelajari kota), mengatakan “putting the space first”, letakkan ruang diurutan pertama. Jika bicara tentang kota, artinya ruanglah yang akan dibicarakan. Namun apakah ruang itu?

Terminologi ruang objektif-subjektif, yang material dan yang mental biasa dipakai untuk analisis ruang tidak lagi relevan. Pandangan oposisional inilah yang seringkali digunakan dalam penataan ruang kota. Ruang material diandaikan dalam mental dan diwujudkan dalam tata ruang. Soja menawarkan pemikiran baru yaitu “lived space” yakni ruang yang hidup, dimana ruang secara historis, temporal bahkan biografis hidup pada masing-masing para pelakunya. Ruang yang dialami dan memberikan pengalaman (lived space).

Penataan Ruang Kota

Penataan ruang kini menjadi isu hangat dan menjadi perhatian publik. Karena ia terkait dengan kepentingan publik. Ia mengatur aspek-aspek yang langsung bersentuhan dengan kehidupan warga kota, terutama pada persoalan zoning kawasan, sarana dan prasarana perkotaaan. Selama ini praktek perencanaan di kota-kota Indonesia dilaksanakan secara sepihak, dari sudut pandang pemerintah kota. Sebagai contoh adalah tata ruang kota Jakarta yang kini dikritik oleh koalisi jakarta 2030 karena dinilai mengesampingkan publik.

Proses perencanaan cenderung dilaksanakan sepihak oleh pemerintah dan hasilnya adalah perda tata ruang yang seringkali gagal diterapkan. Kegagalan ini berawal dari kegagalan pemerintah sebagai pemrakarsa penataan ruang memahami ruang yang multidimensional. Ruang material lah yang diperhitungkan, tanpa melakukan analisa sosial yang historis maupun kultural. Penataan ruang cenderung memakai pemahaman ruang yang ada di kepala para pejabat berwenang dan para ahli sebagai teknisi. Pemahaman ruang hanya ditafsirkan di ranah teknis. Nilai sosial dan historis ruang diabaikan karena tata ruang yang teknis hanya berorientasi pada masa depan. Namun, perlu diingat bahwa ruang kota adalah ruang yang hidup, karena diisi manusia yang berkehidupan (beraktivitas).

Zoning tata ruang adalah simplifikasi ruang yang luar biasa deterministik. Proses penetapannya hanya melihat ruang material. Padahal di dalamnya terdapat sejarah dan kehidupan yang sedang atau telah berlangsung. Maka tak heran jika dalam penerapannya, zoning seringkali gagal menafsirkan ruang yang coba ditata dalam rencana dan berakibat konflik. Sebagai contoh adalah penggusuran Cina Benteng di Tangerang. Jejak historis Cina Benteng yang sejak tahun 1700 sudah hidup dan bermukim tak dijadikan pertimbangan dalam praktek penataan ruang. Pemerintah Kota Tangerang yang menetapkan kawasan pemukiman Cina Benteng sebagai kawasan hijau lantas main gusur. Jelas masalah ini tidak akan selesai walaupun penggusuran sukses terlaksana. Faktor historis dan kultural inilah yang seringkali diabaikan.

Perencanaan Partisipatif

Perencanaan bisa jadi adalah model ideal yang mengemuka. Perlu diketahui sebelumnya bahwa partisipasi adalah tugas pemerintah, maksudnya: pemerintahlah yang seharusnya memberikan peluang partisipasi untuk masyarakat dalam tata ruang. Selama ini sosialisasi sudah dianggap sebagai partisipasi masyarakat. Tentunya ini tak cukup, mengingat sosialisasi hanyalah pemaparan program yang sudah selesai disusun. Partisipasi yang diharapkan adalah kesadaran masyarakat untuk turut serta dalam proses dan kontrol penataan ruang.

Hambatan utama dalam pelibatan masyarakat (partisipasi) dalam perencanaan tata ruang adalah penetapan tata ruang sebagai proyek berjangka waktu terbatas. Tata ruang disusun dalam satu tahun anggaran dengan jangka waktu yang relatif singkat. Untuk menyelesaikannya secara teknis pun pasti kesulitan. Apalagi jika melibatkan masyarakat, berapa panjang masa waktu pengerjaannya. Selain itu, proyek tata ruang ini ditangani oleh pihak ketiga (konsultan) yang tentunya akan sangat bergantung pada pemberi proyek untuk supervisi pengerjaannya. Partisipasi menjadi sulit terlaksana dalam kondisi demikian.

Selain itu, partisipasi membutuhkan masyarakat yang memahami konteks tata ruang. Faktor inilah yang menjadi alasan untuk mentidakmungkinkan perencanaan partisipatif dilaksanakan. Sebagai solusinya pemerintah melibatkan para ahli, yang dianggap mampu menganalisa ruang untuk ditata. Sekali lagi karena ruang itu hidup, tidak mungkin ahli dengan sudut pandang pengetahuannya bisa menerjemahkannya lebih baik dari yang hidup dan menghidupi ruang tersebut (baca: masyarakat).

Gerakan Perlawanan

Seiring dengan terbukanya kran demokratisasi dan kesadaran masyarakat mengorganisasikan diri, gerakan kepedulian pada tata ruang mulai tumbuh berkembang. Dominasi pemerintah dengan dukungan ahli mulai tergeser dengan gerakan ini. Tata ruang sebagai produk politik yang menyentuh kepentingan publik secara langsung mulai menjadi perhatian publik. Gerakan kepedulian pada tata ruang (contoh: Koalisi Jakarta 2030) adalah sebuah bukti bahwa ruang kota itu hidup, tidak statis seperti yang dibayangkan oleh pemerintah dalam rencana.

Gerakan ini menyimpan potensi bagi sebuah rencana tata ruang partisipatif. Karena dengan mengorganisasikan diri, otomatis para anggota yang notabene mengalami ruang bisa berkontribusi aktif dalam penataan ruang. Anggapan bahwa masyarakat belum memiliki pengetahuan tentang tata ruang terbantahkan dengan adanya gerakan ini. Tinggal bagaimana membuat sebuah formulasi baru yang memberikan ruang partisipasi bagi masyarakat dalam penataan ruang yang diprakarsai pemerintah.

Mengutip Marco Kusumawijaya, pencetus Koalisi Jakarta 2030 dalam petikan petisinya; Proses perencanaan kota dapat melibatkan masyarakat (partisipatif) dalam tiga fungsi (minimal):
1. Sebagai aspirasi (hak politik).
2. Sebagai sumber pengetahuan dan daya membangun yang lebih baik
3. Sebagai sukarelawan untuk menyelenggarakan proses perencanaan partisipatif itu sendiri.
Ketiga fungsi minimal tersebut akan membangkitan komitmen individu dalam mensukseskan penataan ruang. Komitmen individu inilah yang akan membentuk kota yang baik, seperti apa yang dikatakan oleh Walt Whitman dua abad lampau.

Bacaan:
Blake, Emma. "Spatiality past and present: An interview with Edward Soja". Journal of Social Archaeology 2002; 2; 139. SAGE Publication

Soja, Edward W. "Writing the city spatially".CITY, VOL. 7, NO. 3, NOVEMBER 2003. Carfax Publishing

http://www.famouspoetsandpoems.com/poets/walt_whitman

http://rujak.org/2010/01/httptentukancompetisikita_ingin_rtrw_jakarta_2030_disusun_secara_benar/#respond

ditulis 19 April 2010

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Hei, aku mencoba ke email Anda berkaitan dengan posting ini tapi aren t mampu menjangkau Anda?. Silakan e-mail saya ketika mendapatkan beberapa saat. Terima kasih..

Aulia Latif mengatakan...

Anonim,

Email saja ke aulia.latif@gmail.com

Anonim mengatakan...

Hey, I am checking this blog using the phone and this appears to be kind of odd. Thought you'd wish to know. This is a great write-up nevertheless, did not mess that up.

- David

JHON mengatakan...

HAI...

Mesin Pencari