Walter Mitty yang budiman,
Menonton film tentang Anda, saya mengira akan menyaksikan film
sejenis “Charlie and The Chocolate Factory”. Ternyata saya salah kira, dan bersyukur
karenanya. Film anda dapat dikategorikan sejenis dengan “Forrest Gump”—jenis film
yang layak ditonton lebih dari sekali.
Tempat kerja Anda, majalah “LIFE”, mengingatkan saya pada
edisi 13 Februari 1950, yang cerita
utamanya mengenai Indonesia, tanah air saya. Kebetulan foto-foto di situ
dipotret fotografer handal kesukaan saya,
Henri Cartier-Bresson. Berikut saya cuplikkan sampulnya.
Dari sinilah saya merasa dekat dengan Anda, Bung Walter. Bagaimana
hubungan anda dengan Sean O’ Connel si fotografer, akhir-akhir ini? Petualangan Anda untuk
melacaknya sungguh perjalanan yang
menarik.
Kalau boleh sedikit berpendapat tentang lamunan Anda,
sepertinya itu terjadi karena Anda kurang piknik. Kematian Ayah Mitty muda yang
berambut mohawk dan jagoan skate board, jadi menanggung beban keluarga. Mimpi
siang bolong adalah pelarian Anda dari dunia di sela kerja. Anda menjadi pelamun sampai akhirnya “LIFE” cetakan terakhir
membangunkan Anda. Ternyata, ada hikmah di balik akuisisi “LIFE” yang akan
diubah jadi versi online. “Klise” (negatif foto) calon sampul edisi akhir majalah
yang hilang , memaksa Anda meninggalkan khayalan untuk berpetualang.
Tentu, dedikasi pada kerja dan cinta sebagai penyemangat tak
bisa disepelekan dari petualangan Anda. Cuplikan lagu “Ground control to Major Tom..”, yang Anda bayangkan dilantunkan
oleh rekan kerja yang Anda taksir diam-diam, Cheryl Melhoff, melecut keberanian
untuk naik heli yang dipiloti orang mabuk dan melompat ke kapal di tengah badai. (Belakangan saya tahu kalau lagu tersebut dari David Bowie
yang judulnya “Space Oddity”). Berkendara di jalanan Islandia dengan skate board. Mendaki Himalaya bersama dua Sherpa. Berakhir jadi
sampul majalah “LIFE” edisi cetak pamungkas. Lintasan antara lamunan dan
petualangan yang tak terduga.
Apa yang sering Anda khayalkan justru menjadi
penyemangat untuk beraksi dalam kenyataan. Satu hal yang mengganjal hanyalah soal pie jeruk bikinan Ibunda,
yang konon sampai bisa meluluhkan hati warlord
Afganistan yang garang. Kenapa Ibunda tak berjualan kue supaya beban keluarga pascakematian
Ayah tak dipikul sendirian oleh Anda, yang ketika itu masih terlalu belia? Kalau
saja demikian, mungkin Anda bisa lebih menikmati masa muda.
Terakhir, saya tak beranjak dari kursi bioskop sampai credit title film selesai ditayangkan. Saya
terperangah menyaksikan foto-foto dari film Anda. Kalau boleh saya tanya,
siapakah fotografernya? Saya sudah mengubek-ubek Google, tapi tak berhasil
menemukan nama yang bersangkutan. Jika bertemu lagi, tolong sampaikan, saya
salut dengan hasil kerjanya.
Demikian surat ini saya sampaikan. Empat kali empat sama
dengan enam belas, sempat tidak sempat harus dibalas.
Jakarta yang lembab
karena hujan, 23 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar