Senin, 28 Oktober 2013

Jokowi 2014: Titik Balik Republik

Jarang ada berita baik di Indonesia, terkecuali sekitar angka-angka pertumbuhan ekonomi yang beredar di antara 5,5 sampai 6 persen. Itupun perhitungan makro yang ditopang oleh konsumsi. Jumlah penduduk Indonesia dalam usia produktif (15-17 tahun) mencapai 49% tahun ini – 2013,  dan akan mencapai puncaknya pada tahun 2020. Apakah arti dari angka-angka ini, sedehana saja sebenarnya, bagian dari kekayaan Republik Indonesia yaitu sumber daya manusia. Besaran angkatan kerja menyimpan potensi daya beli yang jadi bahan bakar konsumsi penggerak pertumbuhan ekonomi. Inilah yang sesungguhnya menopang pertumbuhan ekonomi kita beberapa tahun terakhir, istilah kerennya bonus demografi. Sebagai gambaran, inilah yang akan kita bicarakan selanjutnya.

Santer terdengar kabar kalau negeri ini berjalan dengan autopilot, alias jalan sendiri. Memang benar adanya, ekonomi akan terus berjalan selama manusia masih butuh makan. Tentu saja penduduk Indonesia adalah bagian dari manusia yang butuh makan dan pada akhirnya menggerakkan ekonomi. Karena secara demografis banyak penduduk yang bekerja, maka angka ketergantungan rendah, dan terciptalah angka pertumbuhan yang indah. Angka yang seringkali di klaim oleh Presiden SBY untuk menunjukkan “keberhasilannya”. Memang angka itu benarlah adanya, tak perlu dipungkiri, tapi mari kita telisik.

Ada udang di balik bakwan, ada yang terselip di halaman pemberitaan. Semoga anda tak bosan dengan angka-angka berikutnya dan sanggup menyelesaikan tugas anda membaca artikel ini (harapan penulis J). Berikut saya sampaikan. Data BPS (2013), menunjukkan jumlah tenaga kerja dengan tingkat pendidikan sekolah dasar ke bawah mencapai 35,88 juta orang, tingkat kemiskinan 11,37% (per Maret 2013), dan tingkat pengangguran per Februari 2013 mencapai 7,17 juta orang atau 5,92% dari jumlah angkatan kerja di Indonesia yang mencapai 121,2 juta orang. Mengurai data berikut tentunya kita cuma bisa “prihatin”.

Sawah telah ditanami bata

Ada tiga kebutuhan dasar orang hidup, adalah sandang, pangan dan papan. Menyoal papan atau rumah tempat tinggal, BPS (2012) mencatat angka kekurangan jumlah rumah sebanyak 13,6 juta unit. Ini jadi  persoalan untuk warga Negara yang belum punya rumah, dan telah menjadi komoditas menarik untuk bisnis pengembang perumahan. Konsepnya sederhana saja, di mana persediaan kurang, permintaan tinggi, harga akan naik. Jangan heran kalau tiap akhir pekan pemirsa televisi dibombardir iklan produk properti dengan menawarkan kenaikan harga berlipat-lipat. Akibatnya adalah tanah dan perumahan jadi obyek spekulasi dengan bumbu investasi. Ada dampak langsung lain, perubahan guna lahan yang masif, mengubah lahan pertanian produktif, terutama di Pulau Jawa, menjadi pemukiman.

Kondisi yang makin parah terjadi di daerah lumbung padi sekitar Jakarta. Perubahan guna lahan dari sawah menjadi perumahan tercatat 135 hektar per tahun di Karawang, salah satu sentra penghasil beras terbesar di Indonesia. Tentu saja dari ini akan menyangkut ke persoalan perut, karena beras adalah bahan makanan pokok di Indonesia. Karena swasembada sudah tak pernah terjadi lagi sejak era Orba, dipilihlah jalan pintas, impor dari negara tetangga.

Bicara soal neraca ekspor impor nasional, singkat kata mengenaskan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hingga Juli 2013 defisit neraca perdagangan mencapai US$ 2,31 miliar. Dengan demikian, secara kumulatif dari Januari hingga Juli neraca perdagangan  defisit US$ 5,65 miliar. "Ini terbesar sepanjang sejarah," kata Kepala BPS Suryamin, seperti dikutip tempo.co (Kamis, 2 September 2013). Penyumbang defisit terbesar tentu saja adalah subsidi BBM, tapi menambahnya dengan mengimpor beras, seperti mempraktekkan pepatah lama: “seperti ayam mati di lumbung padi.”

Intinya adalah dari semua angka-angka tersebut, saya hanya mau bilang kalau Negara kita tercinta, Republik Indonesia kaya. Tapi seperti kata pak ustadz, harta dan kekayaan adalah sementara. Demikianlah juga berlaku untuk Indonesia. Bonus demografi tidak berlangsung selamanya, kalau-kalau salah urus bisa jadi pada saat piramidanya penduduk terbalik (angka usia produktif menua) beban negara semakin besar (dengan catatan, kalau negaranya masih ada). Kekayaan alam, sekarang sudah mulai habis, buktinya produksi minyak mentah kita terus menurun pada tahun 1996- produksi minyak mentah Indonesia tercatat 485,573.80 barel dan tahun 2011 turun hingga 289,899.00 barel. Kondisi inilah yang terjadi, karena produksi minyak tak sanggup mengimbangi besaran subsidi, harga BBM dinaikkan – data lengkap ada di sini .

Masihkah ada harapan?

Marilah berharap pada politik, dimana kita sebagai salah satu pemainnya. Sebagai warga negara yang punya hak suara, mari mengubah arah sejarah. Saya berpendapat Pemilu 2014 adalah titik balik harapan dari segala carut-marut yang ada, sekaligus sebaliknya bisa jadi awal dari akhir sejarah Republik tercinta. Kalau momentum ini terlewat, apa mau di kata, mari menunggu sembari berharap lagi tak punya penyanyi yang hobi jadi Presiden atau versi lain yang memikirkan perut sendiri, keluarga dan kroninya. Dongeng sesungguhnya mulai dari sini.

Korupsi adalah cerita lama yang selalu berulang, menjadi hits di semua orde yang pernah berkuasa di Indonesia sampai sekarang. Marilah mensyukuri reformasi, yang memberikan dua hal: kebebasan pers dan pilkada langsung. Kedua hal inilah yang menjadi secercah cahaya di tengah kegelapan.  Kebebasan pers ditopang dengan perkembangan teknologi informasi, membuat publik bisa membuka mata pada keadaan. Tak lagi disetir dengan kacamata kuda, walau media dimiliki konglomerasi, toh mereka pun saling bersaing, masyarakat jadi wasit. Pilkada langsung, walaupun banyak yang belum berhasil tapi sudah kita lihat hasilnya. Sebut saja, Jokowi (Gub. DKI), Tri Risma (Walikota Surabaya), Kholik Arif (Bupati Wonosobo), Amran Nur (Bupati Sawahlunto) dan nama-nama lainnya (untuk lebih lengkap bisa di baca di sini). Ini bukti bahwa dengan pilkada langsung, politik menghasilkan tokoh yang bisa menjadi harapan. Politik di Indonesia yang berbiaya tinggi, bisa ditekan lewat pilkada daerah yang relatif lebih murah dan terbukti sudah menghasilkan tokoh berkualitas. Muncul berbagai upaya untuk mengembalikan lagi pemilihan kepala daerah langsung kepada DPRD. Dalihnya, terlalu banyak konflik dan baru terselesaikan di MK (Mahkamah Konstitusi yang belakangan gonjang-ganjing karena ketuanya ditangkap KPK). Untuk soal ini hukumnya wajib dilawan, karena pelan-pelan, hasilnya sudah mulai terasa. Jangan lagi pimpinan daerah dengan mudah dikuasai kelompok-kelompok yang tak punya itikad baik untuk kemaslahatan bersama. 

Kita butuh pemimpin yang bekerja, bukan bergaya seakan-akan bekerja alias pencitraan. Untuk membedakannya mudah, pencitraan tak akan berkesinambungan. Kegagalan rezim pemerintahan SBY untuk terus popular adalah bukti nyata. Popularitasnya terus menurun, padahal sewaktu menjabat untuk periode ke 2, saat pilpres perolehan suaranya lebih dari 60 persen. Tentu saja ini karena hasil kerjanya tak bisa dilihat secara kasat mata, dalam dua periode dengan anggaran yang tentu, luar biasa besarnya. Klaim atas angka pertumbuhan ekonomi, tentu saja tak cukup untuk tameng. Karena tak ada hasil nyata yang terasa langsung dan kasat mata. Akan beda kalau saja, angka pertumbuhan disandingkan dengan ketersediaan pangan tercukupi dengan swasembada atau energi listrik tercukupi atau infrastruktur di luar Jawa membaik. Kalau salah satunya bisa berjalan saja, rakyat akan hormat dengan khidmat tanpa diminta. Di lapangan terjadi sebaliknya, Oktober 2013 ini krisis listrik melanda Sumatra dan Kalimantan, dua pulau yang kaya sumberdaya. Intoleransi juga merajalela mengancam kebhinekaan (padahal Presiden kita beroleh penghargaan dari luar negeri untuk toleransi). Apa yang dilakukan presiden? kembali berlindung pada angka-angka pertumbuhan sembari sibuk dengan partainya.

Pengalaman pahit ini tentunya harga mahal yang harus dibayar untuk memulai demokrasi, tapi mari kita cukupkan 10 tahun ini di 2014 nanti. Kita perlu pemimpin baru, yang sederhana, yang perkataannya sesuai dengan tindakannya. Kini, orang ramai menyebut Jokowi, Gubernur DKI, mantan walikota Solo. Ia baru setahun menjabat. Ia adalah kandidat kuat presiden pilihan rakyat. Hampir setiap hari media memberitakannya, dalam setahun masa jabatan bersama Wakilnya Basuki Cahaya Purnama (Ahok) perubahan tampak di Jakarta. Sungai dikeruk, waduk dibersihkan, PKL ditertibkan, tampak jelas apa yang dia kerjakan. Cerita lengkapnya anda bisa cari dengan mudah di media online Indonesia. Beberapa media internasional pun memberitakan sepak terjangnya dari Hindu Times, India; New York Times dan Guardian, AS; hingga The Economist, Inggris. Ia adalah kesayangan media, tapi ia juga bekerja.

Setiap lembaga survei menyertakan namanya, Ia selalu menjadi kandidat terkuat dipasangkan dengan siapa saja. Tentu saja banyak yang tak suka, terutama para tokoh tua yang ngebet jadi presiden. Sebagai pengamat komentar di kompas.com saya menengarai tiap ada berita yang mengangkat Jokowi, akan muncul komentator yang menyerangnya dengan dalih pencitraan. Komentatornya itu-itu saja, anda bisa mengeceknya sendiri. Walau demikian, dukungan orang banyak dengan akun unik lebih banyak. Di ranah media sosial seperti twitter juga banyak penyerangnya semenjak ia mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI. Pola serangannya yang frontal berkutat pada tema pencitraan, sedangkan yang lain mencoba mengarahkan opini bahwa ia seorang oportunis pengejar jabatan. Soal serangan langsung dari politisi yang berseberangan tentu kita akan bertemu nama-nama tenar, sejenis Ruhut Sitompul dkk.

Jokowi sendiri tak pernah menyatakan diri mencalonkan diri menjadi presiden. Mungkin dia menyiapkan dirinya menjadi presiden, tapi untuk ngebet jadi presiden saya rasa tidak. Kalau dia sekarang diinginkan menjadi presiden, saya rasa banyak yang akan menjawab iya. Kalau ditanya kenapa, sederhana saja, siapa lagi memangnya? Memang iya, ia baru menjabat sebagai Gubernur setahun. Banyak pula yang berpendapat kalau Jokowi sebaiknya selesaikan dulu satu periode baru nanti mencalonkan presiden tahun 2019. Kalau soal ini saya akan menjawab, memangnya pemilihan presiden itu seperti arisan, digilir sampai dapat. Belum pasti dicalonkan saja sudah banyak yang menjegal. Apalagi kalau orang lain yang terpilih jadi presiden, apa tidak ada usaha untuk terpilih lagi dan menjegal calon lawannya. Inilah yang saya sebut sebagai momentum, kini menjelang 2014, sosok Jokowi adalah titik equilibrium, di mana permintaan (harapan masyarakat) bertemu dengan ketersediaan.

Pencalonan Jokowi masih misteri, tapi dalam pandangan saya, momentum perubahan ada padanya. Karena momentum politik datangnya tak pasti, daripada rakyat Indonesia terus berharap pada ramalan Jayabaya akan datangnya ratu adil. Lebih baik kita membuka diri pada proses politik. Jokowi adalah contoh bahwa orang baik di politik bisa memberikan harapan untuk perubahan untukkebaikan. Harapan itu pupus bukan ketika orang culas memimpin, tapi saat orang baik tak mau tampil. Pada 2014, Republik masih kaya, bonus demografi masih bisa dikelola, kalau itu terlewat, entahlah. Sebagaimana bonus lainnya, hanya berlaku sebentar pada masa promosi saja. Selagi ada kesempatan, mari kita mulai dengan memilih presiden yang baik, supaya orang baik lainnya beroleh kesempatan berikutnya.

Sekian.
Melbourne, 28/10/2013

1928-2013, 85 tahun Sumpah Pemuda.

Tidak ada komentar:

Mesin Pencari