Santer terdengar kabar kalau
negeri ini berjalan dengan autopilot,
alias jalan sendiri. Memang benar adanya, ekonomi akan terus berjalan selama
manusia masih butuh makan. Tentu saja penduduk Indonesia adalah bagian dari
manusia yang butuh makan dan pada akhirnya menggerakkan ekonomi. Karena secara
demografis banyak penduduk yang bekerja, maka angka ketergantungan rendah, dan terciptalah
angka pertumbuhan yang indah. Angka yang seringkali di klaim oleh Presiden SBY untuk
menunjukkan “keberhasilannya”. Memang angka itu benarlah adanya, tak perlu
dipungkiri, tapi mari kita telisik.
Ada udang di balik bakwan, ada
yang terselip di halaman pemberitaan. Semoga anda tak bosan dengan angka-angka
berikutnya dan sanggup menyelesaikan tugas anda membaca artikel ini (harapan
penulis J).
Berikut saya sampaikan. Data BPS (2013), menunjukkan jumlah tenaga kerja dengan
tingkat pendidikan sekolah dasar ke bawah mencapai 35,88 juta orang, tingkat
kemiskinan 11,37% (per Maret 2013), dan tingkat pengangguran per Februari 2013
mencapai 7,17 juta orang atau 5,92% dari jumlah angkatan kerja di Indonesia
yang mencapai 121,2 juta orang. Mengurai data berikut tentunya kita cuma bisa “prihatin”.
Sawah telah ditanami bata
Ada tiga kebutuhan dasar orang
hidup, adalah sandang, pangan dan papan. Menyoal papan atau rumah tempat
tinggal, BPS (2012) mencatat angka kekurangan jumlah rumah sebanyak 13,6 juta
unit. Ini jadi persoalan untuk warga Negara
yang belum punya rumah, dan telah menjadi komoditas menarik untuk bisnis pengembang
perumahan. Konsepnya sederhana saja, di mana persediaan kurang, permintaan
tinggi, harga akan naik. Jangan heran kalau tiap akhir pekan pemirsa televisi dibombardir
iklan produk properti dengan menawarkan kenaikan harga berlipat-lipat. Akibatnya
adalah tanah dan perumahan jadi obyek spekulasi dengan bumbu investasi. Ada
dampak langsung lain, perubahan guna lahan yang masif, mengubah lahan pertanian
produktif, terutama di Pulau Jawa, menjadi pemukiman.
Kondisi yang makin parah terjadi di daerah lumbung padi sekitar Jakarta. Perubahan guna lahan dari sawah menjadi perumahan tercatat 135 hektar per tahun di Karawang, salah satu sentra penghasil beras terbesar di Indonesia. Tentu saja dari ini akan menyangkut ke persoalan perut, karena beras adalah bahan makanan pokok di Indonesia. Karena swasembada sudah tak pernah terjadi lagi sejak era Orba, dipilihlah jalan pintas, impor dari negara tetangga.
Kondisi yang makin parah terjadi di daerah lumbung padi sekitar Jakarta. Perubahan guna lahan dari sawah menjadi perumahan tercatat 135 hektar per tahun di Karawang, salah satu sentra penghasil beras terbesar di Indonesia. Tentu saja dari ini akan menyangkut ke persoalan perut, karena beras adalah bahan makanan pokok di Indonesia. Karena swasembada sudah tak pernah terjadi lagi sejak era Orba, dipilihlah jalan pintas, impor dari negara tetangga.
Bicara soal neraca ekspor impor nasional, singkat kata mengenaskan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hingga Juli 2013 defisit neraca perdagangan mencapai US$ 2,31 miliar. Dengan demikian, secara kumulatif dari Januari hingga Juli neraca perdagangan defisit US$ 5,65 miliar. "Ini terbesar sepanjang sejarah," kata Kepala BPS Suryamin, seperti dikutip tempo.co (Kamis, 2 September 2013). Penyumbang defisit terbesar tentu saja adalah subsidi BBM, tapi menambahnya dengan mengimpor beras, seperti mempraktekkan pepatah lama: “seperti ayam mati di lumbung padi.”
Intinya adalah dari semua angka-angka tersebut, saya hanya mau bilang kalau Negara kita tercinta, Republik Indonesia kaya. Tapi seperti kata pak ustadz, harta dan kekayaan adalah sementara. Demikianlah juga berlaku untuk Indonesia. Bonus demografi tidak berlangsung selamanya, kalau-kalau salah urus bisa jadi pada saat piramidanya penduduk terbalik (angka usia produktif menua) beban negara semakin besar (dengan catatan, kalau negaranya masih ada). Kekayaan alam, sekarang sudah mulai habis, buktinya produksi minyak mentah kita terus menurun pada tahun 1996- produksi minyak mentah Indonesia tercatat 485,573.80 barel dan tahun 2011 turun hingga 289,899.00 barel. Kondisi inilah yang terjadi, karena produksi minyak tak sanggup mengimbangi besaran subsidi, harga BBM dinaikkan – data lengkap ada di sini .
Masihkah ada harapan?
Marilah berharap pada politik,
dimana kita sebagai salah satu pemainnya. Sebagai warga negara yang punya hak
suara, mari mengubah arah sejarah. Saya berpendapat Pemilu 2014 adalah titik
balik harapan dari segala carut-marut yang ada, sekaligus sebaliknya bisa jadi awal
dari akhir sejarah Republik tercinta. Kalau momentum ini terlewat, apa mau di
kata, mari menunggu sembari berharap lagi tak punya penyanyi yang hobi jadi
Presiden atau versi lain yang memikirkan perut sendiri, keluarga dan kroninya. Dongeng
sesungguhnya mulai dari sini.
Korupsi adalah cerita lama yang
selalu berulang, menjadi hits di semua orde yang pernah berkuasa di Indonesia
sampai sekarang. Marilah mensyukuri reformasi, yang memberikan dua hal:
kebebasan pers dan pilkada langsung. Kedua hal inilah yang menjadi secercah
cahaya di tengah kegelapan. Kebebasan
pers ditopang dengan perkembangan teknologi informasi, membuat publik bisa
membuka mata pada keadaan. Tak lagi disetir dengan kacamata kuda, walau media
dimiliki konglomerasi, toh mereka pun saling bersaing, masyarakat jadi wasit.
Pilkada langsung, walaupun banyak yang belum berhasil tapi sudah kita lihat
hasilnya. Sebut saja, Jokowi (Gub. DKI), Tri Risma (Walikota Surabaya), Kholik Arif
(Bupati Wonosobo), Amran Nur (Bupati Sawahlunto) dan nama-nama lainnya (untuk
lebih lengkap bisa di baca di sini).
Ini bukti bahwa dengan pilkada langsung, politik menghasilkan tokoh yang bisa
menjadi harapan. Politik di Indonesia yang berbiaya tinggi, bisa ditekan lewat
pilkada daerah yang relatif lebih murah dan terbukti sudah menghasilkan tokoh
berkualitas. Muncul berbagai upaya untuk mengembalikan lagi pemilihan kepala daerah langsung kepada DPRD. Dalihnya, terlalu banyak konflik dan baru terselesaikan di MK (Mahkamah Konstitusi yang belakangan gonjang-ganjing karena ketuanya ditangkap KPK). Untuk soal ini hukumnya wajib dilawan, karena pelan-pelan, hasilnya sudah mulai terasa. Jangan lagi pimpinan daerah dengan mudah dikuasai kelompok-kelompok yang tak punya itikad baik untuk kemaslahatan bersama.
Kita butuh pemimpin yang bekerja,
bukan bergaya seakan-akan bekerja alias pencitraan. Untuk membedakannya mudah,
pencitraan tak akan berkesinambungan. Kegagalan rezim
pemerintahan SBY untuk terus popular adalah bukti nyata. Popularitasnya terus
menurun, padahal sewaktu menjabat untuk periode ke 2, saat pilpres perolehan
suaranya lebih dari 60 persen. Tentu saja ini karena hasil kerjanya tak bisa
dilihat secara kasat mata, dalam dua periode dengan anggaran yang tentu, luar
biasa besarnya. Klaim atas angka pertumbuhan ekonomi, tentu saja tak cukup untuk
tameng. Karena tak ada hasil nyata yang terasa langsung dan kasat mata. Akan
beda kalau saja, angka pertumbuhan disandingkan dengan ketersediaan pangan tercukupi
dengan swasembada atau energi listrik tercukupi atau infrastruktur di luar Jawa
membaik. Kalau salah satunya bisa berjalan saja, rakyat akan hormat dengan
khidmat tanpa diminta. Di lapangan terjadi sebaliknya, Oktober 2013 ini krisis
listrik melanda Sumatra dan Kalimantan, dua pulau yang kaya sumberdaya. Intoleransi
juga merajalela mengancam kebhinekaan (padahal Presiden kita beroleh
penghargaan dari luar negeri untuk toleransi). Apa yang dilakukan presiden? kembali berlindung pada angka-angka pertumbuhan sembari sibuk dengan partainya.
Pengalaman pahit ini tentunya
harga mahal yang harus dibayar untuk memulai demokrasi, tapi mari kita cukupkan
10 tahun ini di 2014 nanti. Kita perlu pemimpin baru, yang sederhana, yang
perkataannya sesuai dengan tindakannya. Kini, orang ramai menyebut Jokowi,
Gubernur DKI, mantan walikota Solo. Ia baru setahun menjabat. Ia adalah
kandidat kuat presiden pilihan rakyat. Hampir setiap hari media
memberitakannya, dalam setahun masa jabatan bersama Wakilnya Basuki Cahaya
Purnama (Ahok) perubahan tampak di Jakarta. Sungai dikeruk, waduk dibersihkan,
PKL ditertibkan, tampak jelas apa yang dia kerjakan. Cerita lengkapnya anda
bisa cari dengan mudah di media online Indonesia. Beberapa media internasional
pun memberitakan sepak terjangnya dari Hindu Times, India; New York Times dan Guardian,
AS; hingga The Economist, Inggris. Ia adalah kesayangan media, tapi ia juga
bekerja.
Setiap lembaga survei menyertakan
namanya, Ia selalu menjadi kandidat terkuat dipasangkan dengan siapa saja.
Tentu saja banyak yang tak suka, terutama para tokoh tua yang ngebet jadi
presiden. Sebagai pengamat komentar di kompas.com saya menengarai tiap ada
berita yang mengangkat Jokowi, akan muncul komentator yang menyerangnya dengan
dalih pencitraan. Komentatornya itu-itu saja, anda bisa mengeceknya sendiri. Walau
demikian, dukungan orang banyak dengan akun unik lebih banyak. Di ranah media sosial
seperti twitter juga banyak penyerangnya semenjak ia mencalonkan diri menjadi
Gubernur DKI. Pola serangannya yang frontal berkutat pada tema pencitraan,
sedangkan yang lain mencoba mengarahkan opini bahwa ia seorang oportunis
pengejar jabatan. Soal serangan langsung dari politisi yang berseberangan tentu
kita akan bertemu nama-nama tenar, sejenis Ruhut Sitompul dkk.
Jokowi sendiri tak pernah
menyatakan diri mencalonkan diri menjadi presiden. Mungkin dia menyiapkan
dirinya menjadi presiden, tapi untuk ngebet jadi presiden saya rasa tidak.
Kalau dia sekarang diinginkan menjadi presiden, saya rasa banyak yang akan
menjawab iya. Kalau ditanya kenapa, sederhana saja, siapa lagi memangnya?
Memang iya, ia baru menjabat sebagai Gubernur setahun. Banyak pula yang
berpendapat kalau Jokowi sebaiknya selesaikan dulu satu periode baru nanti
mencalonkan presiden tahun 2019. Kalau soal ini saya akan menjawab, memangnya
pemilihan presiden itu seperti arisan, digilir sampai dapat. Belum pasti dicalonkan
saja sudah banyak yang menjegal. Apalagi kalau orang lain yang terpilih jadi
presiden, apa tidak ada usaha untuk terpilih lagi dan menjegal calon lawannya. Inilah yang saya sebut
sebagai momentum, kini menjelang 2014, sosok Jokowi adalah titik equilibrium,
di mana permintaan (harapan masyarakat) bertemu dengan ketersediaan.
Pencalonan Jokowi masih misteri,
tapi dalam pandangan saya, momentum perubahan ada padanya. Karena momentum
politik datangnya tak pasti, daripada rakyat Indonesia terus berharap pada
ramalan Jayabaya akan datangnya ratu adil. Lebih baik kita membuka diri pada proses
politik. Jokowi adalah contoh bahwa orang baik di politik bisa memberikan harapan
untuk perubahan untukkebaikan. Harapan itu pupus bukan ketika orang culas
memimpin, tapi saat orang baik tak mau tampil. Pada 2014, Republik masih
kaya, bonus demografi masih bisa dikelola, kalau itu terlewat, entahlah.
Sebagaimana bonus lainnya, hanya berlaku sebentar pada masa promosi saja. Selagi
ada kesempatan, mari kita mulai dengan memilih presiden yang baik, supaya orang
baik lainnya beroleh kesempatan berikutnya.
Sekian.
Melbourne, 28/10/2013
1928-2013, 85 tahun
Sumpah Pemuda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar