Lama tak menulis, saya coba mulai lagi dengan mengomentari puisi Romo Sindhu(Sindhunata)"Cintamu Sepahit Topi Miring". Menarik bagi saya karena bicara soal kemabukan. Disini kemabukannya spesifik, monggo dibaca mulai dari puisinya lalu komentar keminter saya. Hahahaha, semoga berkenan.
Cintamu Sepahit Topi Miring
Senja di desa Baron
matahari tenggelam dalam kemaron
Lembu betina lari melompat-lompat
dikejar-kejar anaknya yang kecil meloncat
Senja lucu dengan kasih sayang ibu dan anak
langit senja mengandung sapi beranak
terpesona Ranto melihat, ia tertawa bergelak
dan berubah jadi Ranto Gudel, sang pelawak
Jadi Marmoyo di panggung ketoprak
Ranto Gudel meminum arak
Terendam dalam ciu
birahinya berubah jadi biru
Diajaknya Nyai Dasima bercinta
dengan cinta sepahit Topi Miring
Layar dibuka, turun hujan gembukan
Dewi Mlenukgembuk datang
membawa seguling roti cakwe
Marmoyo rebah terguling
tidur di pangkuan Nyai Dasima
yang sekeras ciu cangkol buah dadanya
Ke mana Ranto Gudel pergi
panggung selalu harum dengan arak wangi
Di Sriwedari jadi petruk
Garengnya diajak mabuk
Bagongnya menggeloyor
Semarnya berjualan ciu cangkol
Dengan terang lampu semprong
Pak Mloyo memukul kenong
nong ji, nong ro
giginya ompong menggerong:
Ranto Gudel Mendehem
Nyungsep di Bengawan Solo
di sana ia lalu menyanti:
Itu perahu, riwayatmu dulu
kini sungaimu mengalirkan arak wangi
dengan harumnya aku mandi
Thuyul gundhul ke sana sini mengempit gendul
gendruwo thela-thelo, tampak loyo
jrangkong jalannya miring-miring dhoyong
dhemit setan wedhon
anak-anak Bathari Durga dari bukit Krendhawahana
semuanya mabuk menari-nari:
Sengkuni leda-lede
mimpin baris ngarep dhewe
eh barisane menggok
Sengkuni kok malah ndheprok
Belum selesai menabuh kenong
Nong ji, nong ro
Pak Mloyo pulang geloyoran
Abu-abu wajahnya terendam ciu
Dari jauh Ranto Gudel melihatnya
duduk berjongkok di Bengawan Solo:
Air mengalir sampai jauh
membawa botol-botol cangkol
yang mengapung-apung seperti lampion
nyalanya bundar, seperti kenong
Pak Mloyo terguling ke Bengawan Solo
dengan irama nong ji nong ro
Ranto Gudel tertawa:
Itu perahu botol cangkol
mengalir sampai jauh
akhirnya ke laut berombak ciu
Malam berpayung hitam
hitam dibuka dengan bulan
Ranto Gudel minum arak bekonang
mengantar gadis pulang, berdandan bidan
roknya putih, bajunya putih
serba putih lebih daripada peri
Tiba di pinggir kali
Ranto Gudel diajak belok ke kiri
Rumahnya temaram
kursinya sedingin batu bulan
Birahinya menyentuh dingin
tergeletak ia di atas kijing
Dhemit elek asu tenan
mengumpat Ranto Gudel geram
Ia marah terendam arak bekonang:
Asu, hampir saja aku bercinta dengan setan
Cinta manusia seperti Umbul Penggung
dulu bening sekarang keruh
dulu kerajaan sekarang desa
Ranto Gudel dengan empat istrinya
tak pernah abadi cintanya
Memang enak jadi wedhus daripada manusia
bila mati, manusia dikubur di gundukan tanah
kepalanya dikencingi wedhus yang merumput
Nasib manusia hanyalah sengsara sampai akhirnya
mengapa kita mesti bersusah?
Hiduplah seperti Joko Lelur
siangnya melamun minum limun
malamnya bangun minum berminum
lapen ciu cangkol arak bekonang
Sekarang di sudut-sudut rumah
botol-botol cangkol dipasangnya
untuk menolak dan menakut-nakuti tikus
Di hari tuanya Mbah Ranto mengenang
bayangkan, ciu cangkol hanyalah spiritus
yang bisa mengusir tikus
padahal dulu aku minum sampai lampus:
Aku memang benar-benar wedhus!
Hueek.
Hueeeeek.
Hueeeeeeeek.
Wis wis......
puisi : Sindhunata
Puisi yang di buat Romo Sindhu ini menggelitik dan sangat etnik. Pilihan setting, kata dan tokohnya sangatlah jawa. Setting yang dimulai dari Desa Baron, Sriwedari hingga Bengawan Solo. Pertunjukan ketoprak dan tokoh-tokoh dari Ranto (yang menjadi Gudel sampai mbah Ranto), Pak Mloyo, Tokoh wayang (Gareng,Bagong, Semar dan Sengkuni hingga Betari Durga), Nyai Dasima dan Joko Lelur. Kata yang dipakai memuat soal: Makanan (cakwe), hantu (Tuyul, jrangkong, Genderuwo), alat musik (kenong) dan umpatan (asu) langsung terasosiasikan pada kehidupan jawa pinggiran. Puisi ini kurang lebih, Menceritakan kemabukan akan kehidupan yang mabuk dengan cara jawa pinggiran, mungkin demikian saya bisa menafsirkannya.
"Lapen ciu cangkol arak bekonang"
potongan bait ini menunjuk jenis minuman yaitu ciu dan daerah penghasilnya Bekonang. Ciu adalah minuman keras yang dihasilkan dari fermentasi tetes tebu, jika dilanjutkan pengolahannya akan menghasilkan etanol alias spiritus (yang kemudian di sebut juga di bait berikutnya). Minuman ini sangatlah pinggiran, dari asal daerah pembuatnya bekonang, pinggiran kota solo. Hingga peminumnya yang relatif proletar, paling tidak lewat suasana yang dibangun di puisi ini. Akan lebih terasa jika anda sempatkan berjalan-jalan di Kota Solo, jalan-jalanlah di sekitar pasar tempat tukang becak atau tukang parkir mangkal. Bertanyalah tentang ciu pada mereka, pasti akan menarik informasinya. Untuk topi miring kurang lebihnya sama, merk minuman yang populer untuk proletar, botol satuan satu liternya biasa dipakai buat bensin eceran.
Oh ya, Jahanam grup musik rap asal Jogja mengadopsinya menjadi lagu. Jahanam sendiri selalu menggunakan bahasa jawa dalam liriknya. Salah satu lagunya yang hits semasa saya masih kuliah adalah "Tumini". Kalau anda berminat bisa diunduh disini http://www.4shared.com/get/wsjuPMhO/Jahanam__-_Cintamu_Sepahit_Top.html
Dalam lagunya yang satu ini, jahanam menggunakan bahasa indonesia, seperti puisi yang diadopsinya.
Menurut saya, yang paling menarik adalah judulnya : Cintamu Sepahit Topi Miring, tapi hanya empat bait yang menyebut soal cinta
"Diajaknya Nyai Dasima bercinta
dengan cinta sepahit Topi Miring"
Dan cinta di bait ini pun sangat mungkin mengarahkan pembaca untuk menafsirkannya sebagai seks. Apalagi kalau merujuk pada bait sebelumnya
"Ranto Gudel meminum arak
Terendam dalam ciu
birahinya berubah jadi biru"
Seperti anak dugem masa kini yang setelah mabuk kemudian cari pasangan untuk check in. Cuma settingnya yang berbeda. Mereka urban, dan ini pinggiran jawa. Mereka minum coctail, Ranto minum ciu cangkol. Ternyata ada kesamaan dalam minumannya, ada dua huruf c disana, antara coctail dan ciu cangkol.
di bait lainnya pun soal cinta dibahas pahit, tanpa keberadaan si topi miring:
"Cinta manusia seperti Umbul Penggung
dulu bening sekarang keruh
dulu kerajaan sekarang desa
Ranto Gudel dengan empat istrinya
tak pernah abadi cintanya"
Kemabukan yang diangkat dalam puisi ini dilantunkan sebisa mungkin dengan cara yang mabuk pula, melantur (ndleming dalam bahasa jawa) dan ini memperkuat imajinya. Tentu dengan cara melantur yang puitis dan menunjukkan pengetahuan penulisnya lewat latar belakang budaya yang diangkat lewat kata. Cara menunjukkan kemabukan cara jawa pinggiran yang proletar dan lucu. Mengakhirinya pun romantik, yaitu dengan muntah (jackpot), diakhiri dengan kata "wis" alias sudah.
1 komentar:
Ijinkan aku mengutip sebaitnya..
"Cinta manusia seperti Umbul Penggung
dulu bening sekarang keruh
dulu kerajaan sekarang desa
Ranto Gudel dengan empat istrinya
tak pernah abadi cintanya"
Posting Komentar