Kamis, 31 Oktober 2013

(FPI) Imajinasi Mayoritas si minoritas

Baru saja usai membaca berita di media online Indonesia. Berita yang menjadi perhatian saya: sepak terjang Front Pembela Islam (FPI) dan komentar-komentar pembacanya. Sebagian besar yang anti mengasosiasikan sepak terjang organisasi ini--dari pemimpin, perilaku dengan segala atributnya--identik dengan ke-arab-an dan tentu saja membawa-bawa Islam. Karena perilaku anarkisnya, komentar-komentar untuk berita soal FPI seringkali dilontarkan dengan keras bahkan kasar, kadang membabi-buta menyasar agama dan sering lolos dari sensor pengelola situs. Miris.

Di era internet, pintu kebebasan informasi terbuka lebar, semua pendapat sah saja. Web 2.0  membuka ruang luas untuk soal ini. Susah kalau saling menyalahkan. Semua kembali pada nilai yang dianut masing-masing orang yang turut berperan. Lagipula, sebagian komentar keras dan kasar selalu muncul dari akun anonim, tak bisa dipertanggungjawabkan opininya, dan tak perlu dipikir susah. Namun--selalu ada tapi di sini--sesungguhnya kebebasan dan anonimitas di internet tak akan menghapus jejak digital.  Artinya, kalau niat mau meluangkan waktu, lokasi bisa terdeteksi dan manusianya akan ketahuan. Era digital menyempitkan dunia jadi selebar daun kelor.

Saya hendak berandai-andai menyoal minoritas dan komentar berita online. Asumsi awalnya, pengakses internet adalah bagian dari minoritas kelas menengah terdidik. Sekarang memang mengakses internet bisa dilakukan oleh semua orang, tapi untuk turut berkomentar dalam sebuah berita secara interaktif diperlukan pengetahuan lebih. Walaupun demikian, minoritas pun majemuk, tak bersuara sama. Mereka setidaknya mewakili kelompok yang bisa disederhanakan menjadi dua, yakni mendukung dan melawan.

Merangkai komentar pada berita online dengan isu minoritas membuat saya merujuk pada teori “spiral of silence” –nya Elisabeth Noelle-Neumann. Singkat cerita, andai benar saya merangkaikannya, apa yang muncul di komentar berita adalah pangkal dari spiral yang akan membesar, mengikuti perkembangan arah opini. Gambar berikut meringkas bagaimana teori “spiral of silence” bekerja.


Mari kita dudukkan dalam konteks kejadian nyata. Studi kasusnya adalah berita soal rencana FPI menggelar demo tiap minggu untuk menggusur Lurah Susan di LentengAgung. Alasannya, tak pantas seorang wanita beragama Kristen menjadi pimpinan di daerah yang mayoritas penduduknya Islam.

Berita ini memanen 271 komentar; hampir semua mengecam rencana FPI. Perhatikan bahwa, seperti biasa, FPI ngeyel menggunakan logika mayoritas mereka. Timbul pertanyaan, apa iya mereka benar-benar mayoritas? Ataukah mereka hanya mewakili mayoritas, atau justru hanya berlindung di balik status mayoritas? Merujuk pada teori “spiral of silence”, sesungguhnya merekalah yang minoritas di ranah maya. Dalam keseharian benarkah mereka adalah “mayoritas”? Mari kita telusuri.

Pembalikan Arah Kekuasaan = Pembalikan Arah Kebencian

Sejarah kebencian akan minoritas punya akar panjang di Indonesia, terekam sejak zaman kolonial Belanda. Pengkategorian berdasarkan suku, agama dan ras oleh pemerintah kolonial tentu punya tujuan, mempermudah kontrol sosial. Dengan mengklasifikasikan warga berdasarkan kategori itu, strategi pemerintahan mereka berjalan. Hierarki juga disusun, kaum kolonial menempati posisi puncak. Semua kategori lain ada di bawah, dengan kategori pribumi berada di dasar piramida. Model hierarki dan kategori ini menunjukkan siapa yang berkuasa. Bahasa sosiologi menyebut pengelompokan ini stratifikasi.

Ketika kemerdekaan diproklamirkan, sontak keadaan berubah. Hierarki kolonial runtuh, tapi sayang kategorinya masih bertahan dan diadopsi oleh kekuasaan baru. Hierarki yang berubah membuat kelas dari kategori berpindah posisi. Singkat kata, pribumi dengan jumlah terbanyak menjadi penguasa. Piramida kelas sosial pun berbalik. Saya menduga, logika mayoritas dimulai di sini. Untuk tema pembicaraan kita ini, konsep mayoritas akan berkelindan dengan kategori identitas lain, yakni antara agama dan suku.

Islam adalah agama mayoritas, identik dengan arab sebagai asal muasalnya. Penganutnya di Indonesia mayoritas tentunya adalah pribumi. Nah, sekarang mari kita telisik soal FPI. Pimpinan mereka menyebut diri sebagai “habib” yang dalam penafsirannya adalah keturunan Rosulullah yang bersuku arab. Walau keturunan arab adalah minoritas, karena mereka beragama Islam, jadilah mereka bagian dari kaum mayoritas. Ditambah label (atau klaim) “keturunan nabi” posisi pimpinan FPI ini menjadi istimewa, setidaknya di hadapan pengikutnya, bukan tuhannya tentu.

Secara kasat mata mereka menampilkan gaya berbusana “arab” untuk memperkuat simbol Islam. Selain itu, mereka selalu mengatasnamakan umat Islam saat bertindak. Hal ini tentu memperkuat posisi sebagai mayoritas. Dengan cara pembacaan ini, klaim FPI sebagai mayoritas adalah imajinasi semata. Kita pakai logika sederhana: FPI sering menguasai jalan raya, berperilaku seenaknya, sementara jalanan adalah tempat umum di mana masyarakat Indonesia--yang mayoritas beragama Islam--menggunakannya. Adakah mereka senang ketika kelompok ini serampangan berkendara seenak udelnya? Tentu saja tidak, Saudara.    

Ditilik dari sejarahnya, FPI sendiri dibentuk untuk kepentingan politik jangka pendek era reformasi. Kelompok Islam adalah kamuflase brilian. Saya tak hendak bicara banyak soal ini; Anda bisa membacanya lebih lengkap di sini.

Mari kita lanjutkan soal pembalikan arah kekuasaan.

Saya berpendapat, komentar yang kontra FPI adalah tikungan putar balik arah kekuasaan. Pembiaran aksi kekerasan yang dilakukan FPI oleh Kepolisian bukan barang baru. Bahkan, dalam waktu yang berdekatan di bulan Oktober tahun ini, ada dua orang menteri (Mendagri dan Menkumham) yang menyatakan dukungannya pada kelompok ini. (Saya menyebutnya kelompok karena mereka tak punya dasar hukum sebagai organisasi yang diakui negara). Tentu kutipan yang bersumber dari Menteri bukan tanpa perhitungan, melainkan ada agenda yang disiapkan. Tujuannya barangkali politis, pengalihan isu dan (amit-amit) mengarahkan terjadinya konflik horizontal.

Mendagri, erat kaitannya dengan komentarsebelumnya, meminta Gubernur DKI mengevaluasi penempatan Lurah Susan di Lenteng Agung. Komentar pertamanya ini menuai hujatan, hingga sempat bergesekan dengan Wagub Ahok yang menyarankan Mendagri belajar konstitusi. Komentar mendagri yang menyarankan Pemda bekerja sama dengan FPI  tentu disambut gembira kelompok ini, dan langsung bereaksi, berkoar akan menurunkan Wagub. Wajar kalau ditengarai Mendagri sedang mengeluarkan dua jurus sekaligus: “nabok nyilih tangan” (pinjam tangan untuk memukul) dan “sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui”. Memakai pemeran pengganti untuk berkonflik sekaligus berkelit dari kasus e-ktp yang sudah menjalar ke kisruh penentuan DPT (Daftar Pemilih Tetap) KPU untuk pemilu 2014.

Berbaliknya arah kekuasaan yang saya maksudkan adalah ketika pemerintahan pusat diisi orang-orang baru yang sejak awal berseberangan dengan kelompok ini dan tak merasa perlu memakai jasanya. Tentu ini akan membuat posisi mereka limbung. Walau mereka selalu berlindung dalam payung mayoritas, sesungguhnya yang membuat mereka kuat adalah pembiaran (atau malah perlindungan) aparat keamanan ketika mereka membuat kekacauan.

Pada beberapa kasus yang mereka prakarsai, para korban justru dijadikan tersangka dan dijatuhi hukuman. Sebut saja kasus yang memakan korban jiwa: Ahmadiyah Cikeusik. Korban bahkan dihukum lebih berat dari pelakunya. Tentu ini mencederai rasa keadilan karena tindakan hukum atas FPI hampir-hampir tidak ada. Pembelaannya apalagi kalau bukan karena mereka “mewakili” mayoritas dan tindakan minoritas “meresahkan” atau sesat. Cepat atau lambat, pastilah kesewenangan mereka menanamkan dendam.

Sejarah Republik mencatat, kesewenangan semacam ini akan menuai balas. Ingat kejadian tahun ’65 ketika terjadi pembantaian besar-besaran pada orang yang disangka terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Semua yang disangka PKI dibantai tanpa kecuali. Pemicunya, selain mereka memang dikorbankan oleh Soeharto dengan dalih jadi dalang Gerakan 30 September, PKI tak disukai karena seringkali berlaku arogan. Maklum saja, semasa itu (1955-1965) mereka partai terbesar dan dekat dengan presiden. Sebelum kejatuhannya, PKI merasa diatas angin karena jargon NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) yang disuarakan Presiden Soekarno. Begitu kekuasan beralih, mereka jadi tumbal. Siapa menabur angin, menuai badai.

Bukan tak mungkin hal serupa akan terjadi pada FPI. Saat ini mereka kesayangan penguasa. Sewaktu-waktu kepentingan berubah atau kekuasaan berpindah, bisa jadi mereka akan dikorbankan atau jadi tumbal. Minoritas yang diasosiasikan dekat dengan FPI, keturunan arab, atau yang sekedar hobi meng-arab-kan diri, akan kena imbasnya. Selentingan komentar kebencian pada mereka sudah beredar di dunia maya. Kejadian di lapangan seperti kasus Kendal adalah bukti nyata perlawanan “mayoritas diam” pada kesewenangan mereka.

Lewat komentar-komentar di berita online, saya merasakan “spiral of silence" bekerja dan mengarah pada pembentukan kuasa. Tahun depan Pemilu akan berlangsung, dan itu artinya rezim penyokong FPI tak punya kuasa lagi. Saat kekuasaan mewakili “mayoritas diam”, maka pembalikan kebencian akan terjadi.

Sekarang mereka boleh menebar benci dan mengumbar anarki. Mengatasnamakan diri umat, berlindung sebagai “mayoritas”. Nanti ketika kuasa tak lagi menyokong mereka, mari kita lihat bersama bagaimana sejarah bekerja.

Semoga saja kelak kelompok-kelompok macam ini tak perlu muncul lagi. Tak dijadikan komoditas penguasa. Tak menggunakan agama sebagai pembenar tindakannya. Mari kita rawat kebebasan dengan menghargai perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika.

Melbourne, 30 Oktober, 2013



Tidak ada komentar:

Mesin Pencari