Tentang pengalaman investasi yang tidak glory-glory yang penting ngrejekeni.
Setelah 9 tahun jadi investor di bursa saham Indonesia (idx) dan vakum (trading sekedarnya) dalam 2 tahun terakhir (2018-2020), saya memutuskan kembali aktif berdagang. Sedikit flashback, saya berinvestasi (trader/investor) di bursa tahun 2012 setelah 2 tahun sebelumnya berinvestasi di reksadana saham. Setelah mulai kerja tahun 2009 saya langsung memulai cita-cita untuk bisa berinvestasi di bursa saham. Dulu semasa masih SMA, saya sempat bertanya ke Panin Bank cabang Solo yang letaknya di belakang Benteng Vastenburg. Idenya terpantik dari koran Kompas yang tiap hari di laman bisnis selalu ada grafik dan daftar harga saham. Kejadiannya awal 2000an, internet belum semasif kini. Waktu itu informasi yang saya dapat dari CS nya, untuk memulai membuka rekening efek (di Panin Sekuritas) deposit awalnya adalah 30 juta, jumlah yang wow untuk anak SMA dengan kategori menengah kebawah seperti saya. Uang jajan dan bensin seminggu saja kurang lebih 20 ribu, kalau untuk deposit saja butuh waktu puasa 1500 hari. Mumet ndase.
Sampai kuliah selesai, pun keinginan belum kesampaian untuk bisa berinvestasi di bursa saham. Masih konsisten dengan kekerean dan kekirian sembari sibuk membaca buku dan berangan-angan.
Kerja membuka jalan karena dapat gaji, walau kecil lumayanlah ada modal. Mulai dengan tabungan rencana M*ndiri yang ternyata tak cocok. Beralih ke emas batangan sebagai lindung nilai. Ketika beli di tahun 2010 harga emas 5gr Antam masih 1,5jt. Kalaupun emas sekarang harga segramnya sempat menyentuh sejutaan, tetap emas fisik adalah lindung nilai (hedging) yang melindungi modal dari inflasi. Di tahun yang sama mulailah juga buka rekening reksadana P*nin dan D*nareksa. Semuanya jalan barengan emas dan reksadana. Setelah 2 tahun ternyata kurang cocok juga, terlalu lambat.
Pindah tugas ke Jakarta menjadi momentum, mulai berinvestasi di bursa saham. Pertama kali punya rekening efek M*ndiri Sekuritas (MOST), anak perusahaan Bank Mandiri. Buka rekeningnya belum ada onlen-onlen seperti sekarang. Masih paper based dan lewat kantor. Sebagai pemula saya belajar dari buku: 1) Smart Trader Not Gamblers (Ellen May) dan Who Wants To Be A Smiling Investor (Lukas Setiaatmaja). Trivia: Ellen adalah kakak kelas saya semasa SMA. Buku Ellen dan Pak Lukas inilah yang jadi petunjuk awal memulai jual beli saham. Singkatnya dua buku ini mengajarkan bagaimana jadi trader dan bagaimana jadi investor.
Untuk memisahkan rekening trading dan investasi, maka saya buatlah rekening efek lain dengan sekuritas etradin* (sudah ganti nama 2 kali, D*ewoo dan terakhir M*rae). Cah lawasan pasti tahu. Sampai sekarang sekuritas berkode YP inilah yang jadi andalan saya untuk dol tinuku saham. Kenapa saya memilih menggunakan istilah dol tinuku (jual-beli) dibandingkan dengan bermain saham. Karena duitnya beneran bukan mainan. Sedangkan untuk investasi selain Mandiri alias CC.
Pertama kali beli adalah emiten BBRI, waktu itu harganya masih 4 ribuan, atau kalau harga stock splitnya 1000. Belinya pakai aplikasi online yang ada di Black Berry, ponsel paling populer masa itu. Hasilnya tentu sahaja rugi, karena tidak tahan melihat emiten memerah. Itung-itung duit buat pendidikan, ikutan pelatihan-pelatihan geje aja bayar kok. Memulai dengan kerugian menjadi pengingat, kalau perhitungan, kesabaran dan pengambilan keputusan adalah kunci cuan.
Awal tahun ini saya baru kenal adanya investor/trader angkatan pendemi. Sejak pendemi menyerang banyak orang tertarik dengan bursa, ramai juga di medsos pameran portofolio. Kemudian muncul pengakuan-pengakuan yang tangkapan layarnya diunggah di medsos, tentang trader-trader angkatan pendemi yang modalnya pakai pinjaman online, uang iuran PKK sampai bayaran kuliah. Tampaknya mereka tergiur dengan pameran portofolio yang ijo-ijo terlebih yang ARA (Auto Reject Atas). Cuan tak dapat diraih boncos didapat. Fenomena mob (mentalitas kerumunan) di bursa ini bukan barang baru. Sejak zaman kompeni kemakan investasi bodong bibit tulip, sampai jaman tiktok buat flexing portofolio.
Sebagai pengingat, khususnya saya sendiri.
Untuk pembelajaran, tidak ada yang instan. Bahkan investasi ghoib ternak tuyul pun butuh persiapan dan pengorbanan (tumbal). Pasar Modal memang menjanjikan, tapi semua perlu belajar. Dari literatur yang saya baca, semua investor/trader yang berhasil pasti pernah rugi. Kembali ke kredo awal bursa saham sebagai tempat jual beli, ada kalanya untung bisa juga rugi. Jadi, singkatnya jangan rugi, untung sedikit bagus, untung banyak istimewa. Pakai duit dingin (di luar kebutuhan harian dan dana cadangan), belajar baca laporan keuangan, belajar baca grafik untuk tentukan support dan resisten, pasang profit taking dan stop loss, dan kalau hari ini untung/rugi besok bursa masih buka (*selama negara ini masih ada). OK