Pahlawan
Oleh: Aulia Latif
Hari pahlawan yang diperingati besok, 10 November gencar diinformasikan Departemen Sosial lewat iklan TV, kurang afdol jika tidak ada rasan-rasannya. Masyarakat diminta untuk mengheningkan cipta tepat pukul 8.15. Saya bertanya pada diri sendiri, sebenarnya apa makna dari pengheningan cipta? Jawabannya sebenarnya mudah diperoleh, standar, untuk mengenang jasa-jasa pahlawan yang memerdekakan dan menjaga Indonesia tetap ada. Pemaknaan pahlawan pun menjadi problem yang mengganggu di kepala saya, lebih dari masalah ketombe iklan shampo. Menurut saya, dengan penilaian bodhon (jawa-red), pahlawan di benak sebagian besar masyarakat Indonesia kategorinya adalah orang yang membawa senjata dalam suasana peperangan, entah itu bambu runcing hingga senapan mesin. Semuanya biasanya digambarkan dengan wajah penuh keberanian atau kebencian (menurut saya sih ekspresi semangat menghancurkannya sangat terasa), coba anda lihat di patung-patung atau mural yang ada di gerbang gapura masuk kampung. Tampilan heroik dengan senjata dan wajah garang dan background pertempuran, sepertinya sudah mewakili citra kepahlawanan.
Namun, masih banyak problem yang menyelimuti mitos kepahlawanan. Sejarah yang ditulis buku-buku pelajaran dinegeri ini banyak bercerita tentang kisah kepahlawanan. Dari yang sejak zaman melawan VOC hingga melawan tirani Soeharto. Pahlawan-pahlawan zaman VOC diwakili oleh tokoh-tokoh perlawanan dari berbagai propinsi Indonesia sejak dari Aceh tapi tidak sampai Papua. Cobalah baca dengan lebih sabar dan ingat-ingat bahwa Papua (Irian Barat waktu itu-red) baru termasuk wilayah Indonesia pada tahun 60an, setelah adanya Dwikora yang dikobarkan Soekarno. Jadinya wajar jika tidak ada pahlawan Papua zaman dulu. Pahlawan yang terbaru adalah pahlawan Reformasi, anggotanya para Mahasiswa Trisakti yang meninggal ditembaki aparat saat peristiwa Mei’98. Ada juga pahlawan lama tapi gaungnya makin jarang didengungkan, siapa itu? Jawabannya adalah guru ‘pahlawan tanpa tanda jasa.” Hingga saat ini prestasi terbaik yang diperoleh dari kategori pahlawan ini adalah lagu yang judulnya sama dengan kategorinya, dinyanyikan tiap hari pendidikan, lumayanlah dari pada tidak ada.
Sepertinya butuh sedikit tempat berpijak untuk melangkah pada kalimat berikutnya dengan literatur. Saya memilih film Flags of Our Fathers, yang menceritakan tentang foto penancapan bendera Amerika di Iwo Jima, suatu pulau yang terletak di Laut Pasifik saat perang dunia ke-2. Publikasi dari penancapan bendera ini sangat berpengaruh bagi kampanye penggalangan dana perang dari penduduk Amerika. Walaupun sebenarnya penancapan bendera yang fotonya menjadi sangat legendaris ini merupakan penancapan yang kedua, bendera yang pertama diminta oleh seorang jenderal sebagai kenang-kenangan. Karena yang difoto adalah penancapan kedua, maka para pelakunyalah yang kemudian dijadikan pahlawan, padahal pada saat foto itu diambil Iwo Jima belum diambilalih, masih dalam peperangan. Ingat, pemenang perang bukan yang sesungguhnya menang namun yang mengumumkan kemenangan atas perang. Tentara yang ikut serta dalam penancapan bendera ini kemudian di blow up habis-habisan menjadi pahlawan perang, diberi penghargaan dan dibawa keliling seluruh negara bagian oleh departemen keuangan Amerika untuk selanjutnya menjadi sales dana perang. Mereka yang menjadi “pahlawan” ini merasa sangat bersalah pada kawan-kawan seperjuangannya yang tidak pernah mendapat sebutan pahlawan seperti mereka. Monumennya saat ini masih bisa diihat di Washington. Cerita dalam film ini menelanjangi kemunafikan pembuatan ikon klasik yang disebut hero dalam bahasa Inggris dan pahlawan dalam bahasa Indonesia. Pembuatan ikon “pahlawan” ini tidak lepas dari tujuan kepentingan kekuasaan.
Kembali ke asal, Indonesia. Semoga pembaca sepakat dengan generalisasi saya ini, sebagai pembanding kisah di film yang telah saya ceriterakan sebelumnya, bahwa pahlawan selalu identik dengan tentara termasuk di negeri ini. Sebagai contoh yang paling mudah, penamaan jalan-jalan protokol di negeri didominasi oleh nama-nama tentara. Betapa tidak, carilah kota besar yang tidak memiliki Jalan Sudirman, kalaupun itu terlalu terkenal carilah jalan dengan nama tentara-tentara lain, pastilah lebih banyak dari yang bukan tentara. Sedikit meminjam teori Foucault (baca fuko-red) tentang relasi kuasa, hal ini akan sangat terkait dengan besarnya pengaruh tentara di negeri ini, pada saat jalan-jalan tersebut dinamai. Tentu hal ini terjadi pada masa pemerintahan Soeharto yang mahsyur dengan ide stabilitasnya yang menggadang-gadang tentara dengan Dwi Fungsi ABRI (pada saat itu). Soeharto sendiri pada saat menjadi presiden belumlah lepas dari ketentaraan –ia adalah seorang Jenderal bintang empat- , dan proses naiknya beliau sebagai presiden masih penuh kontroversi (supersemar sampai saat ini tidak diketahi keberadaannya). Meminjam sedikit pemikiran Foucault lagi tentang kekuasaan dan pendisiplinan, yang dilakukan Soeharto untuk melegitimasi dan melanggengkan hegemoninya adalah dengan menciptakan citra tentara yang hebat tiada bandingannya. Salah satu contohnya, film-film yang dibuat saat orde baru macam Serangan Umum 1 Maret dan G30 S PKI, memrogram opini penduduk Indonesia tentang hebatnya Soeharto dan yang tidak boleh ketinggalan hebatnya tentara. Belum lagi buku sejarah yang dipakai untuk pelajaran anak SD hingga SMA. Bahkan tinggalannya ini pun hingga kini masih sangat diyakini oleh hampir seluruh penduduk Indonesia, bahwa pemimpin yang baik itu berasal dari tentara, juga betapa para jendral masih begitu dominan dalam lingkaran elit politik. Arus utama opini yang terbangun dari alam bawah sadar bahwa tentara berkorelasi positif dengan pahlawan tertancap kuat. Relasi kuasa dan usaha pendisiplinan subjek terjadi tanpa ada resitensi memadai. Sebagai argumentasi saya menawarkan beberapa bukti, sudahkah guru yang juga memiliki emblem pahlawan memiliki tempat di hati penduduk Indonesia dibandingkan dengan tentara. Tanyakan kepada calon-calon bintara hingga taruna apakah alasan mereka masuk tentara, saya yakin lebih dari 90 persennya menyebut bahwa mereka ingin membantu negeri ini (asumsi ini saya ambil karena pernah menyaksikan wawancara tentang hal terkait di sebuah tv swasta). Relevankah dengan kenyataan, negeri ini butuh banyak tentara? Bukankah lebih membantu negeri ini jika mereka mau menjadi guru di daerah pedalaman. Tetap di dunia kita yang makin kapitalis ini duit tetap menjadi pertimbangan utama. Menjadi tentara apalagi perwira akan menjamin kesejahteran perekonomian yang memadai. Namun akan menjadi lebih utama jika perekonomian yang terjamin ditambah kemahsyuran dengan menjadi bagian dari ikon kepahlawanan yang diakui masyarakat.
Kepahlawanan yang dibangun sebagai simbol ternyata berhubungan dengan berbagai kepentingan. Dari yang biasa disebut mulia, sebagai contoh pemberian gelar pahlawan kemerdekaan RI untuk tokoh perlawanan di berbagai wilayah yang selanjutnya menjadi bagian dari Indonesia untuk keterwakilan yang menimbulkan perasaan kesatuan; kemudian penciptaan ikon “pahlawan revolusi” dari tentara untuk legitimasi perebutan kekuasan tahun ’65 saat Soeharto merebut kekuasaannya hingga dapat mempertahankan hegemoninya selama 32 tahun; Pengakomodasian peran guru dengan pemberian ikon “pahlawan tanpa tanda jasa”; hingga “pahlawan reformasi” bagi mahasiswa korban ’98. Simbolisasi pahlawan ini ternyata sangat kaya akan makna, pesan yang terbaca dengan kuat adalah bentuk pemonumenan sebuah kepentingan sebagai sarana afirmatif komunikasi untuk membangun diskursus yang menjadi kebutuhan dalam kerangka relasi kuasa. Gampangannya dijadikan tetenger alias landmark bagi suatu kepentingan untuk kekuasaan dengan cara yang halus dan simpatik. Ternyata kata pahlawan ini begitu bermakna bukan? Dan, mungkin makna pembacaannya akan terus berubah selayaknya sebuah teks. Selamat hari pahlawan bagi mereka yang merayakannya.
NB: Tulisan ini dibuat tanggal 9 nov 2007, semalam sebelum diperingatinya AHri Pahlawan. Diposting tanggal 3 Des 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar