Senin, 03 Desember 2007

Sebuah Diskusi tentang Al Ghazali dan Ibn Rusyd

Commencons par l'immpossible (mari kita mulai dengan yang tak-mungkin)

Terima kasih atas pembuka diskursusnya bung syafran...
Aku bakal coba membahasnya dengan perspektif postmodernisme (posmo).Awen sudah kasih pembukanya secaa singkat, aku bakal coba menjelaskan sebisaku, semoga memuaskan. Walaupun diskusinya bakalan panjang, tapi kujamin tidak bakalan membosankan.

Untuk mempersingkatnya aku bakal langsung pada permasalahan bahwa Al Ghazali didukung oleh rezim yang berkuasa pada masa itu. Meminjam pemikiran foucault mengenai relasi kekuasan dan Derrida mengenai "the other", ilmu (dalam hal ini pengetahuan tentang ketuhanan) erat kaitannya dengan relasinya dengan kekuasaan. Selanjutnya merujuk pada kedekatan Al Ghazali dengan rezim penguasa saat itu mengakibatkan ketimpangan secara politis. Dengan demikian posisi Ibn Rusyd menjadi inferior. Singkatnya ilmu pengetahuan adalah kekuasaan, demikian juga sebaliknya dan selanjutnya kekuasaan itulah yang menentukan kebenaran.

Pengkafiran atau sejenisnya atau sesat maupun istilah menyimpang adalah bentuk ekstrem dari pendisiplinan yang dilakukan untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan (dengan klaim atas "pengetahuan"). Seperti yang telah dikatakan oleh Awen, bahwa kekuasaan berkonotasi netral (bisa +/-) atau bisa merusak atau malah membangun. Kembali pada permasalahan, pada masa Al Ghazali dan Ibn Rusyd, kemungkinan yang dapat dianalogikan merusak sekaligus membangun adalah rezim yang berkuasa memandang dengan merujuk pada pemikiran Al Ghazali adalah stabilitas politik akan lebih mudah dijaga sehingga pembangunan umat lebih mudah untuk dilakukan, disisi lain dengan merujuk pada pemikiran yang sama kekuasaan yang dipegang rezim akan lebih terjaga dari kritik oposan, karena umat akan cenderung kehilangan daya kritis yang diperoleh dari intelektualitas yang ditawarkan Ibn Rusyd (klo contoh ini kurang jelas tolong berikan kritik, nanti akan aku pelajari lagi dan perbaiki tulisan ini).

Dengan perspektif Derridean, kita dapat melihat bahwa apa yang dilakukan Al Ghazali adalah berusaha untuk menstabilkan makna dengan melakukan kekerasan (violence) pada pemikiran Ibn Rusyd, sebutan kafir merepresentasikan hal tersebut. The other nya disini adalah Ibn Rusyd, jadi terbentuk identitas antara yang lurus dengan kafir. Sedikit teorinya adalah identitas (tanda/ sign) dibentuk dengan melakukan oposisi biner, misalnya laki2-perempuan, tuhan-mahluk, baik-buruk, bersih-kotor dll- dengan membaca Jaques Lacan atau Ferdinand de Saussure mungkin akan menjadi semakin jelas. Jadi posisinya, Ibn Rusyd berlaku menjadi pihak yang resisten. Dalam perspektif posmo, hidup adalah permasalahan hegemoni dan resistensi seperti apa yang terjadi pada 2 tokoh besar islam tersebut. Maka apa yang dicita2kan manusia dengan perspektif modern yang mengandaikan ada kebenaran mutlak didunia adalah ilusi. Mungkin banyak yang tidak menyadari posisinya berlaku sebagai pihak yang menghegomoni dan melakukan kekerasan, demikian juga yang terepresi dan melakukan resistensi.

Positioning menjadi penting dalam kondisi ini, dalam artian untuk bertoleransi pada the other. Aku saat ini lebih berpihak pada Ibn Rusyd, tapi bukan berati pemikiran Al Ghazali menjadi diabaikan, semuanya sama2 penting. Tapi kita harus berpendirian, intinya adalah positioning bukan memaksakan apa yang kita yakini. Kebenaran, Tuhan, Keadilan itu ada tapi kita tidak dapat pernah menggapainya didunia ini. Ibarat horizon yang ada, tapi selalu menjauh saat kita mendatanginya. Saat ini apapun yang kita anut masih dalam kerangka bahasa, yang maknanya sangat tidak stabil (bisa dikendalikan oleh relasi kuasa), maka kita hanya bisa memperoleh jejaknya (trace)... Tiada Tuhan selain Tuhan itu sendiri...Jangan ada klaim pada kebenaran sejati yang mutlak, karena dengan adanya kekuasaan Tuhan yang (katanya) didelegasikan pada manusia yang akan terjadi adalah kematian kemanusiaan...

Semoga bisa mencerahkan, tulisan ini sangat terbuka pada kritik...

adieu

Tidak ada komentar:

Mesin Pencari