Ini proyek iseng-iseng mumpung cuaca lagi cerah, menuju musim semi. Semua foto berikut memakai Panasonic Lumic G3 dengan lensa standar f/3.5-5.6 14-42 mm. Obyek foto saya peroleh disepanjang jalan sekitar Kota Melbourne. Silakan klik gambar untuk melihatnya dalam ukuran lebih besar.
Minggu, 03 November 2013
Kamis, 31 Oktober 2013
(FPI) Imajinasi Mayoritas si minoritas
Baru saja usai membaca berita di
media online Indonesia. Berita yang
menjadi perhatian saya: sepak terjang Front Pembela Islam (FPI) dan komentar-komentar
pembacanya. Sebagian besar yang anti mengasosiasikan sepak terjang organisasi
ini--dari pemimpin, perilaku dengan segala atributnya--identik dengan ke-arab-an
dan tentu saja membawa-bawa Islam. Karena perilaku anarkisnya, komentar-komentar
untuk berita soal FPI seringkali dilontarkan dengan keras bahkan kasar, kadang
membabi-buta menyasar agama dan sering lolos dari sensor pengelola situs. Miris.
Melbourne, 30 Oktober, 2013
Di era internet, pintu kebebasan
informasi terbuka lebar, semua pendapat sah saja. Web 2.0 membuka ruang luas untuk soal ini. Susah kalau saling menyalahkan. Semua kembali
pada nilai yang dianut masing-masing orang yang turut berperan. Lagipula,
sebagian komentar keras dan kasar selalu muncul dari akun anonim, tak bisa
dipertanggungjawabkan opininya, dan tak perlu dipikir susah. Namun--selalu ada
tapi di sini--sesungguhnya kebebasan dan anonimitas di internet tak akan
menghapus jejak digital. Artinya, kalau
niat mau meluangkan waktu, lokasi bisa terdeteksi dan manusianya akan ketahuan. Era
digital menyempitkan dunia jadi selebar daun kelor.
Saya hendak berandai-andai menyoal
minoritas dan komentar berita online. Asumsi awalnya, pengakses internet adalah bagian dari
minoritas kelas menengah terdidik. Sekarang memang mengakses internet bisa dilakukan oleh semua orang, tapi untuk turut berkomentar dalam sebuah
berita secara interaktif diperlukan pengetahuan lebih. Walaupun demikian, minoritas
pun majemuk, tak bersuara sama. Mereka setidaknya mewakili kelompok yang bisa
disederhanakan menjadi dua, yakni mendukung dan melawan.
Merangkai komentar pada berita online dengan isu minoritas membuat saya
merujuk pada teori “spiral of silence”
–nya Elisabeth Noelle-Neumann. Singkat cerita, andai benar saya
merangkaikannya, apa yang muncul di komentar berita adalah pangkal dari spiral
yang akan membesar, mengikuti perkembangan arah opini. Gambar berikut meringkas
bagaimana teori “spiral of silence” bekerja.
Mari kita dudukkan dalam konteks
kejadian nyata. Studi kasusnya adalah berita soal rencana FPI menggelar demo tiap minggu untuk menggusur Lurah Susan di LentengAgung. Alasannya, tak pantas seorang wanita beragama Kristen menjadi pimpinan
di daerah yang mayoritas penduduknya Islam.
Berita ini memanen 271 komentar; hampir
semua mengecam rencana FPI. Perhatikan bahwa, seperti biasa, FPI ngeyel menggunakan logika mayoritas
mereka. Timbul pertanyaan, apa iya mereka benar-benar mayoritas? Ataukah mereka hanya mewakili
mayoritas, atau justru hanya berlindung di balik status mayoritas? Merujuk pada teori “spiral of silence”, sesungguhnya merekalah
yang minoritas di ranah maya. Dalam
keseharian benarkah mereka adalah “mayoritas”? Mari kita telusuri.
Pembalikan Arah Kekuasaan = Pembalikan Arah Kebencian
Sejarah kebencian akan minoritas punya
akar panjang di Indonesia, terekam sejak zaman kolonial Belanda. Pengkategorian
berdasarkan suku, agama dan ras oleh pemerintah kolonial tentu punya tujuan, mempermudah
kontrol sosial. Dengan mengklasifikasikan warga berdasarkan kategori itu,
strategi pemerintahan mereka berjalan. Hierarki juga disusun, kaum kolonial menempati
posisi puncak. Semua kategori lain ada di bawah, dengan kategori pribumi berada
di dasar piramida. Model hierarki dan kategori ini menunjukkan siapa yang
berkuasa. Bahasa sosiologi menyebut pengelompokan ini stratifikasi.
Ketika kemerdekaan
diproklamirkan, sontak keadaan berubah. Hierarki kolonial runtuh, tapi sayang
kategorinya masih bertahan dan diadopsi oleh kekuasaan baru. Hierarki yang
berubah membuat kelas dari kategori berpindah posisi. Singkat kata, pribumi
dengan jumlah terbanyak menjadi penguasa. Piramida kelas sosial pun berbalik. Saya
menduga, logika mayoritas dimulai di sini. Untuk tema pembicaraan kita ini,
konsep mayoritas akan berkelindan dengan kategori identitas lain, yakni antara
agama dan suku.
Islam adalah agama mayoritas, identik
dengan arab sebagai asal muasalnya. Penganutnya di Indonesia mayoritas tentunya
adalah pribumi. Nah, sekarang mari kita telisik soal FPI. Pimpinan mereka menyebut diri sebagai
“habib” yang dalam penafsirannya
adalah keturunan Rosulullah yang bersuku arab. Walau keturunan arab adalah
minoritas, karena mereka beragama Islam, jadilah mereka bagian dari kaum mayoritas.
Ditambah label (atau klaim) “keturunan nabi” posisi pimpinan FPI ini menjadi
istimewa, setidaknya di hadapan pengikutnya, bukan tuhannya tentu.
Secara kasat mata mereka menampilkan gaya berbusana “arab” untuk memperkuat simbol Islam. Selain itu, mereka selalu mengatasnamakan umat Islam saat bertindak. Hal ini tentu memperkuat posisi sebagai mayoritas. Dengan cara pembacaan ini, klaim FPI sebagai mayoritas adalah imajinasi semata. Kita pakai logika sederhana: FPI sering menguasai jalan raya, berperilaku seenaknya, sementara jalanan adalah tempat umum di mana masyarakat Indonesia--yang mayoritas beragama Islam--menggunakannya. Adakah mereka senang ketika kelompok ini serampangan berkendara seenak udelnya? Tentu saja tidak, Saudara.
Secara kasat mata mereka menampilkan gaya berbusana “arab” untuk memperkuat simbol Islam. Selain itu, mereka selalu mengatasnamakan umat Islam saat bertindak. Hal ini tentu memperkuat posisi sebagai mayoritas. Dengan cara pembacaan ini, klaim FPI sebagai mayoritas adalah imajinasi semata. Kita pakai logika sederhana: FPI sering menguasai jalan raya, berperilaku seenaknya, sementara jalanan adalah tempat umum di mana masyarakat Indonesia--yang mayoritas beragama Islam--menggunakannya. Adakah mereka senang ketika kelompok ini serampangan berkendara seenak udelnya? Tentu saja tidak, Saudara.
Ditilik dari sejarahnya, FPI
sendiri dibentuk untuk kepentingan politik jangka pendek era reformasi. Kelompok
Islam adalah kamuflase brilian. Saya tak hendak bicara banyak soal ini; Anda bisa membacanya lebih lengkap di sini.
Mari kita lanjutkan soal pembalikan arah kekuasaan.
Mari kita lanjutkan soal pembalikan arah kekuasaan.
Saya berpendapat, komentar yang
kontra FPI adalah tikungan putar balik arah kekuasaan. Pembiaran aksi kekerasan
yang dilakukan FPI oleh Kepolisian bukan barang baru. Bahkan, dalam waktu yang
berdekatan di bulan Oktober tahun ini, ada dua orang menteri (Mendagri dan
Menkumham) yang menyatakan dukungannya pada kelompok ini. (Saya menyebutnya
kelompok karena mereka tak punya dasar hukum sebagai organisasi yang diakui negara).
Tentu kutipan yang bersumber dari Menteri bukan tanpa perhitungan, melainkan ada agenda
yang disiapkan. Tujuannya barangkali politis, pengalihan isu dan (amit-amit) mengarahkan
terjadinya konflik horizontal.
Mendagri, erat kaitannya dengan komentarsebelumnya, meminta Gubernur DKI mengevaluasi penempatan Lurah Susan di Lenteng Agung. Komentar pertamanya ini menuai hujatan, hingga sempat bergesekan dengan Wagub Ahok yang menyarankan Mendagri belajar konstitusi. Komentar mendagri yang menyarankan Pemda bekerja sama dengan FPI tentu disambut gembira kelompok ini, dan langsung bereaksi, berkoar akan menurunkan Wagub. Wajar kalau ditengarai Mendagri sedang mengeluarkan dua jurus sekaligus: “nabok nyilih tangan” (pinjam tangan untuk memukul) dan “sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui”. Memakai pemeran pengganti untuk berkonflik sekaligus berkelit dari kasus e-ktp yang sudah menjalar ke kisruh penentuan DPT (Daftar Pemilih Tetap) KPU untuk pemilu 2014.
Mendagri, erat kaitannya dengan komentarsebelumnya, meminta Gubernur DKI mengevaluasi penempatan Lurah Susan di Lenteng Agung. Komentar pertamanya ini menuai hujatan, hingga sempat bergesekan dengan Wagub Ahok yang menyarankan Mendagri belajar konstitusi. Komentar mendagri yang menyarankan Pemda bekerja sama dengan FPI tentu disambut gembira kelompok ini, dan langsung bereaksi, berkoar akan menurunkan Wagub. Wajar kalau ditengarai Mendagri sedang mengeluarkan dua jurus sekaligus: “nabok nyilih tangan” (pinjam tangan untuk memukul) dan “sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui”. Memakai pemeran pengganti untuk berkonflik sekaligus berkelit dari kasus e-ktp yang sudah menjalar ke kisruh penentuan DPT (Daftar Pemilih Tetap) KPU untuk pemilu 2014.
Berbaliknya arah kekuasaan yang
saya maksudkan adalah ketika pemerintahan pusat diisi orang-orang baru yang
sejak awal berseberangan dengan kelompok ini dan tak merasa perlu memakai
jasanya. Tentu ini akan membuat posisi mereka limbung. Walau mereka selalu
berlindung dalam payung mayoritas, sesungguhnya yang membuat mereka kuat adalah
pembiaran (atau malah perlindungan) aparat keamanan ketika mereka membuat
kekacauan.
Pada beberapa kasus yang mereka prakarsai, para korban justru dijadikan tersangka dan dijatuhi hukuman. Sebut saja kasus yang memakan korban jiwa: Ahmadiyah Cikeusik. Korban bahkan dihukum lebih berat dari pelakunya. Tentu ini mencederai rasa keadilan karena tindakan hukum atas FPI hampir-hampir tidak ada. Pembelaannya apalagi kalau bukan karena mereka “mewakili” mayoritas dan tindakan minoritas “meresahkan” atau sesat. Cepat atau lambat, pastilah kesewenangan mereka menanamkan dendam.
Pada beberapa kasus yang mereka prakarsai, para korban justru dijadikan tersangka dan dijatuhi hukuman. Sebut saja kasus yang memakan korban jiwa: Ahmadiyah Cikeusik. Korban bahkan dihukum lebih berat dari pelakunya. Tentu ini mencederai rasa keadilan karena tindakan hukum atas FPI hampir-hampir tidak ada. Pembelaannya apalagi kalau bukan karena mereka “mewakili” mayoritas dan tindakan minoritas “meresahkan” atau sesat. Cepat atau lambat, pastilah kesewenangan mereka menanamkan dendam.
Sejarah Republik mencatat,
kesewenangan semacam ini akan menuai balas. Ingat kejadian tahun ’65 ketika terjadi
pembantaian besar-besaran pada orang yang disangka terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Semua
yang disangka PKI dibantai tanpa kecuali. Pemicunya, selain mereka memang dikorbankan
oleh Soeharto dengan dalih jadi dalang Gerakan 30 September, PKI tak
disukai karena seringkali berlaku arogan. Maklum saja, semasa itu (1955-1965) mereka partai terbesar dan dekat dengan presiden. Sebelum kejatuhannya, PKI
merasa diatas angin karena jargon NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) yang
disuarakan Presiden Soekarno. Begitu kekuasan beralih, mereka jadi tumbal. Siapa
menabur angin, menuai badai.
Bukan tak mungkin hal serupa akan
terjadi pada FPI. Saat ini mereka kesayangan penguasa. Sewaktu-waktu
kepentingan berubah atau kekuasaan berpindah, bisa jadi mereka akan dikorbankan
atau jadi tumbal. Minoritas yang
diasosiasikan dekat dengan FPI, keturunan arab, atau yang sekedar hobi
meng-arab-kan diri, akan kena imbasnya. Selentingan komentar kebencian pada
mereka sudah beredar di dunia maya. Kejadian di lapangan seperti kasus Kendal
adalah bukti nyata perlawanan “mayoritas diam” pada kesewenangan mereka.
Lewat komentar-komentar di berita
online, saya merasakan “spiral of silence" bekerja dan mengarah
pada pembentukan kuasa. Tahun depan Pemilu akan berlangsung, dan itu artinya rezim penyokong FPI tak punya kuasa lagi. Saat kekuasaan mewakili “mayoritas diam”, maka
pembalikan kebencian akan terjadi.
Sekarang mereka boleh menebar benci dan mengumbar anarki. Mengatasnamakan diri umat, berlindung sebagai “mayoritas”. Nanti ketika kuasa tak lagi menyokong mereka, mari kita lihat bersama bagaimana sejarah bekerja.
Semoga saja kelak kelompok-kelompok macam ini tak perlu muncul lagi. Tak dijadikan komoditas penguasa. Tak menggunakan agama sebagai pembenar tindakannya. Mari kita rawat kebebasan dengan menghargai perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika.
Sekarang mereka boleh menebar benci dan mengumbar anarki. Mengatasnamakan diri umat, berlindung sebagai “mayoritas”. Nanti ketika kuasa tak lagi menyokong mereka, mari kita lihat bersama bagaimana sejarah bekerja.
Semoga saja kelak kelompok-kelompok macam ini tak perlu muncul lagi. Tak dijadikan komoditas penguasa. Tak menggunakan agama sebagai pembenar tindakannya. Mari kita rawat kebebasan dengan menghargai perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika.
Senin, 28 Oktober 2013
Jokowi 2014: Titik Balik Republik
Jarang ada berita baik di
Indonesia, terkecuali sekitar angka-angka pertumbuhan ekonomi yang beredar di antara
5,5 sampai 6 persen. Itupun perhitungan makro yang ditopang oleh konsumsi. Jumlah
penduduk Indonesia dalam usia produktif (15-17 tahun) mencapai 49% tahun ini – 2013,
dan akan mencapai puncaknya pada tahun
2020. Apakah arti dari angka-angka ini, sedehana saja sebenarnya, bagian dari
kekayaan Republik Indonesia yaitu sumber daya manusia. Besaran angkatan kerja
menyimpan potensi daya beli yang jadi bahan bakar konsumsi penggerak pertumbuhan
ekonomi. Inilah yang sesungguhnya menopang pertumbuhan ekonomi kita beberapa
tahun terakhir, istilah kerennya bonus demografi. Sebagai gambaran, inilah yang
akan kita bicarakan selanjutnya.
Bicara soal neraca ekspor impor nasional, singkat kata mengenaskan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hingga Juli 2013 defisit neraca perdagangan mencapai US$ 2,31 miliar. Dengan demikian, secara kumulatif dari Januari hingga Juli neraca perdagangan defisit US$ 5,65 miliar. "Ini terbesar sepanjang sejarah," kata Kepala BPS Suryamin, seperti dikutip tempo.co (Kamis, 2 September 2013). Penyumbang defisit terbesar tentu saja adalah subsidi BBM, tapi menambahnya dengan mengimpor beras, seperti mempraktekkan pepatah lama: “seperti ayam mati di lumbung padi.”
Intinya adalah dari semua angka-angka tersebut, saya hanya mau bilang kalau Negara kita tercinta, Republik Indonesia kaya. Tapi seperti kata pak ustadz, harta dan kekayaan adalah sementara. Demikianlah juga berlaku untuk Indonesia. Bonus demografi tidak berlangsung selamanya, kalau-kalau salah urus bisa jadi pada saat piramidanya penduduk terbalik (angka usia produktif menua) beban negara semakin besar (dengan catatan, kalau negaranya masih ada). Kekayaan alam, sekarang sudah mulai habis, buktinya produksi minyak mentah kita terus menurun pada tahun 1996- produksi minyak mentah Indonesia tercatat 485,573.80 barel dan tahun 2011 turun hingga 289,899.00 barel. Kondisi inilah yang terjadi, karena produksi minyak tak sanggup mengimbangi besaran subsidi, harga BBM dinaikkan – data lengkap ada di sini .
Santer terdengar kabar kalau
negeri ini berjalan dengan autopilot,
alias jalan sendiri. Memang benar adanya, ekonomi akan terus berjalan selama
manusia masih butuh makan. Tentu saja penduduk Indonesia adalah bagian dari
manusia yang butuh makan dan pada akhirnya menggerakkan ekonomi. Karena secara
demografis banyak penduduk yang bekerja, maka angka ketergantungan rendah, dan terciptalah
angka pertumbuhan yang indah. Angka yang seringkali di klaim oleh Presiden SBY untuk
menunjukkan “keberhasilannya”. Memang angka itu benarlah adanya, tak perlu
dipungkiri, tapi mari kita telisik.
Ada udang di balik bakwan, ada
yang terselip di halaman pemberitaan. Semoga anda tak bosan dengan angka-angka
berikutnya dan sanggup menyelesaikan tugas anda membaca artikel ini (harapan
penulis J).
Berikut saya sampaikan. Data BPS (2013), menunjukkan jumlah tenaga kerja dengan
tingkat pendidikan sekolah dasar ke bawah mencapai 35,88 juta orang, tingkat
kemiskinan 11,37% (per Maret 2013), dan tingkat pengangguran per Februari 2013
mencapai 7,17 juta orang atau 5,92% dari jumlah angkatan kerja di Indonesia
yang mencapai 121,2 juta orang. Mengurai data berikut tentunya kita cuma bisa “prihatin”.
Sawah telah ditanami bata
Ada tiga kebutuhan dasar orang
hidup, adalah sandang, pangan dan papan. Menyoal papan atau rumah tempat
tinggal, BPS (2012) mencatat angka kekurangan jumlah rumah sebanyak 13,6 juta
unit. Ini jadi persoalan untuk warga Negara
yang belum punya rumah, dan telah menjadi komoditas menarik untuk bisnis pengembang
perumahan. Konsepnya sederhana saja, di mana persediaan kurang, permintaan
tinggi, harga akan naik. Jangan heran kalau tiap akhir pekan pemirsa televisi dibombardir
iklan produk properti dengan menawarkan kenaikan harga berlipat-lipat. Akibatnya
adalah tanah dan perumahan jadi obyek spekulasi dengan bumbu investasi. Ada
dampak langsung lain, perubahan guna lahan yang masif, mengubah lahan pertanian
produktif, terutama di Pulau Jawa, menjadi pemukiman.
Kondisi yang makin parah terjadi di daerah lumbung padi sekitar Jakarta. Perubahan guna lahan dari sawah menjadi perumahan tercatat 135 hektar per tahun di Karawang, salah satu sentra penghasil beras terbesar di Indonesia. Tentu saja dari ini akan menyangkut ke persoalan perut, karena beras adalah bahan makanan pokok di Indonesia. Karena swasembada sudah tak pernah terjadi lagi sejak era Orba, dipilihlah jalan pintas, impor dari negara tetangga.
Kondisi yang makin parah terjadi di daerah lumbung padi sekitar Jakarta. Perubahan guna lahan dari sawah menjadi perumahan tercatat 135 hektar per tahun di Karawang, salah satu sentra penghasil beras terbesar di Indonesia. Tentu saja dari ini akan menyangkut ke persoalan perut, karena beras adalah bahan makanan pokok di Indonesia. Karena swasembada sudah tak pernah terjadi lagi sejak era Orba, dipilihlah jalan pintas, impor dari negara tetangga.
Bicara soal neraca ekspor impor nasional, singkat kata mengenaskan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hingga Juli 2013 defisit neraca perdagangan mencapai US$ 2,31 miliar. Dengan demikian, secara kumulatif dari Januari hingga Juli neraca perdagangan defisit US$ 5,65 miliar. "Ini terbesar sepanjang sejarah," kata Kepala BPS Suryamin, seperti dikutip tempo.co (Kamis, 2 September 2013). Penyumbang defisit terbesar tentu saja adalah subsidi BBM, tapi menambahnya dengan mengimpor beras, seperti mempraktekkan pepatah lama: “seperti ayam mati di lumbung padi.”
Intinya adalah dari semua angka-angka tersebut, saya hanya mau bilang kalau Negara kita tercinta, Republik Indonesia kaya. Tapi seperti kata pak ustadz, harta dan kekayaan adalah sementara. Demikianlah juga berlaku untuk Indonesia. Bonus demografi tidak berlangsung selamanya, kalau-kalau salah urus bisa jadi pada saat piramidanya penduduk terbalik (angka usia produktif menua) beban negara semakin besar (dengan catatan, kalau negaranya masih ada). Kekayaan alam, sekarang sudah mulai habis, buktinya produksi minyak mentah kita terus menurun pada tahun 1996- produksi minyak mentah Indonesia tercatat 485,573.80 barel dan tahun 2011 turun hingga 289,899.00 barel. Kondisi inilah yang terjadi, karena produksi minyak tak sanggup mengimbangi besaran subsidi, harga BBM dinaikkan – data lengkap ada di sini .
Masihkah ada harapan?
Marilah berharap pada politik,
dimana kita sebagai salah satu pemainnya. Sebagai warga negara yang punya hak
suara, mari mengubah arah sejarah. Saya berpendapat Pemilu 2014 adalah titik
balik harapan dari segala carut-marut yang ada, sekaligus sebaliknya bisa jadi awal
dari akhir sejarah Republik tercinta. Kalau momentum ini terlewat, apa mau di
kata, mari menunggu sembari berharap lagi tak punya penyanyi yang hobi jadi
Presiden atau versi lain yang memikirkan perut sendiri, keluarga dan kroninya. Dongeng
sesungguhnya mulai dari sini.
Korupsi adalah cerita lama yang
selalu berulang, menjadi hits di semua orde yang pernah berkuasa di Indonesia
sampai sekarang. Marilah mensyukuri reformasi, yang memberikan dua hal:
kebebasan pers dan pilkada langsung. Kedua hal inilah yang menjadi secercah
cahaya di tengah kegelapan. Kebebasan
pers ditopang dengan perkembangan teknologi informasi, membuat publik bisa
membuka mata pada keadaan. Tak lagi disetir dengan kacamata kuda, walau media
dimiliki konglomerasi, toh mereka pun saling bersaing, masyarakat jadi wasit.
Pilkada langsung, walaupun banyak yang belum berhasil tapi sudah kita lihat
hasilnya. Sebut saja, Jokowi (Gub. DKI), Tri Risma (Walikota Surabaya), Kholik Arif
(Bupati Wonosobo), Amran Nur (Bupati Sawahlunto) dan nama-nama lainnya (untuk
lebih lengkap bisa di baca di sini).
Ini bukti bahwa dengan pilkada langsung, politik menghasilkan tokoh yang bisa
menjadi harapan. Politik di Indonesia yang berbiaya tinggi, bisa ditekan lewat
pilkada daerah yang relatif lebih murah dan terbukti sudah menghasilkan tokoh
berkualitas. Muncul berbagai upaya untuk mengembalikan lagi pemilihan kepala daerah langsung kepada DPRD. Dalihnya, terlalu banyak konflik dan baru terselesaikan di MK (Mahkamah Konstitusi yang belakangan gonjang-ganjing karena ketuanya ditangkap KPK). Untuk soal ini hukumnya wajib dilawan, karena pelan-pelan, hasilnya sudah mulai terasa. Jangan lagi pimpinan daerah dengan mudah dikuasai kelompok-kelompok yang tak punya itikad baik untuk kemaslahatan bersama.
Kita butuh pemimpin yang bekerja,
bukan bergaya seakan-akan bekerja alias pencitraan. Untuk membedakannya mudah,
pencitraan tak akan berkesinambungan. Kegagalan rezim
pemerintahan SBY untuk terus popular adalah bukti nyata. Popularitasnya terus
menurun, padahal sewaktu menjabat untuk periode ke 2, saat pilpres perolehan
suaranya lebih dari 60 persen. Tentu saja ini karena hasil kerjanya tak bisa
dilihat secara kasat mata, dalam dua periode dengan anggaran yang tentu, luar
biasa besarnya. Klaim atas angka pertumbuhan ekonomi, tentu saja tak cukup untuk
tameng. Karena tak ada hasil nyata yang terasa langsung dan kasat mata. Akan
beda kalau saja, angka pertumbuhan disandingkan dengan ketersediaan pangan tercukupi
dengan swasembada atau energi listrik tercukupi atau infrastruktur di luar Jawa
membaik. Kalau salah satunya bisa berjalan saja, rakyat akan hormat dengan
khidmat tanpa diminta. Di lapangan terjadi sebaliknya, Oktober 2013 ini krisis
listrik melanda Sumatra dan Kalimantan, dua pulau yang kaya sumberdaya. Intoleransi
juga merajalela mengancam kebhinekaan (padahal Presiden kita beroleh
penghargaan dari luar negeri untuk toleransi). Apa yang dilakukan presiden? kembali berlindung pada angka-angka pertumbuhan sembari sibuk dengan partainya.
Pengalaman pahit ini tentunya
harga mahal yang harus dibayar untuk memulai demokrasi, tapi mari kita cukupkan
10 tahun ini di 2014 nanti. Kita perlu pemimpin baru, yang sederhana, yang
perkataannya sesuai dengan tindakannya. Kini, orang ramai menyebut Jokowi,
Gubernur DKI, mantan walikota Solo. Ia baru setahun menjabat. Ia adalah
kandidat kuat presiden pilihan rakyat. Hampir setiap hari media
memberitakannya, dalam setahun masa jabatan bersama Wakilnya Basuki Cahaya
Purnama (Ahok) perubahan tampak di Jakarta. Sungai dikeruk, waduk dibersihkan,
PKL ditertibkan, tampak jelas apa yang dia kerjakan. Cerita lengkapnya anda
bisa cari dengan mudah di media online Indonesia. Beberapa media internasional
pun memberitakan sepak terjangnya dari Hindu Times, India; New York Times dan Guardian,
AS; hingga The Economist, Inggris. Ia adalah kesayangan media, tapi ia juga
bekerja.
Setiap lembaga survei menyertakan
namanya, Ia selalu menjadi kandidat terkuat dipasangkan dengan siapa saja.
Tentu saja banyak yang tak suka, terutama para tokoh tua yang ngebet jadi
presiden. Sebagai pengamat komentar di kompas.com saya menengarai tiap ada
berita yang mengangkat Jokowi, akan muncul komentator yang menyerangnya dengan
dalih pencitraan. Komentatornya itu-itu saja, anda bisa mengeceknya sendiri. Walau
demikian, dukungan orang banyak dengan akun unik lebih banyak. Di ranah media sosial
seperti twitter juga banyak penyerangnya semenjak ia mencalonkan diri menjadi
Gubernur DKI. Pola serangannya yang frontal berkutat pada tema pencitraan,
sedangkan yang lain mencoba mengarahkan opini bahwa ia seorang oportunis
pengejar jabatan. Soal serangan langsung dari politisi yang berseberangan tentu
kita akan bertemu nama-nama tenar, sejenis Ruhut Sitompul dkk.
Jokowi sendiri tak pernah
menyatakan diri mencalonkan diri menjadi presiden. Mungkin dia menyiapkan
dirinya menjadi presiden, tapi untuk ngebet jadi presiden saya rasa tidak.
Kalau dia sekarang diinginkan menjadi presiden, saya rasa banyak yang akan
menjawab iya. Kalau ditanya kenapa, sederhana saja, siapa lagi memangnya?
Memang iya, ia baru menjabat sebagai Gubernur setahun. Banyak pula yang
berpendapat kalau Jokowi sebaiknya selesaikan dulu satu periode baru nanti
mencalonkan presiden tahun 2019. Kalau soal ini saya akan menjawab, memangnya
pemilihan presiden itu seperti arisan, digilir sampai dapat. Belum pasti dicalonkan
saja sudah banyak yang menjegal. Apalagi kalau orang lain yang terpilih jadi
presiden, apa tidak ada usaha untuk terpilih lagi dan menjegal calon lawannya. Inilah yang saya sebut
sebagai momentum, kini menjelang 2014, sosok Jokowi adalah titik equilibrium,
di mana permintaan (harapan masyarakat) bertemu dengan ketersediaan.
Pencalonan Jokowi masih misteri,
tapi dalam pandangan saya, momentum perubahan ada padanya. Karena momentum
politik datangnya tak pasti, daripada rakyat Indonesia terus berharap pada
ramalan Jayabaya akan datangnya ratu adil. Lebih baik kita membuka diri pada proses
politik. Jokowi adalah contoh bahwa orang baik di politik bisa memberikan harapan
untuk perubahan untukkebaikan. Harapan itu pupus bukan ketika orang culas
memimpin, tapi saat orang baik tak mau tampil. Pada 2014, Republik masih
kaya, bonus demografi masih bisa dikelola, kalau itu terlewat, entahlah.
Sebagaimana bonus lainnya, hanya berlaku sebentar pada masa promosi saja. Selagi
ada kesempatan, mari kita mulai dengan memilih presiden yang baik, supaya orang
baik lainnya beroleh kesempatan berikutnya.
Sekian.
Melbourne, 28/10/2013
1928-2013, 85 tahun
Sumpah Pemuda.
Kamis, 24 Oktober 2013
Bahasa Inggris Pak Beye dan Anaknya (dan Vicky, tentu saja)
Berada di negeri orang tak membuat saya kehilangan kebiasaan lama, membaca berita online dari Indonesia. Terima kasih kepada penemu internet, semoga ia selalu bahagia, karena dengan temuannya membagi kebahagian untuk dunia. Berita yang menjadi sasaran utama saya adalah yang paling banyak terkomentari, Kompas.com punya sub kanal untuk berita jenis ini. Tertanggal (23/10/13) peringkat pertama terkomentari judulnya “Presiden: Saya Korban Pers...”.
Sudah sering muncul pernyataan macam ini dan berkali-kali menjadi berita nasional.
Tapi bukan ini yang menarik perhatian saya. Pada paragraph terakhir ada sebuah kutipan terkenal dari Lord Acton yang dikutip oleh Pak Beye, demikian bunyinya “"Ingat Lord Acton, power tends to corrupt, power absolutely, absolutely corrupt (kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut, pasti korup),". Tampak keren dan intelek, tapi sayang kurang tepat. Para komentator mengkoreksinya demikian “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.” Mungkin pak Beye lagi sedih, karena jadi korban pers, atau karena terbiasa bermain kata dalam menulis lagu, ia berimprovisasi.
Karena iseng dan internet kenceng, saya coba mencari pidato-pidato pak Beye di tautan http://www.presidenri.go.id. Ada lima pidato pada kesempatan yang berbeda, saya ambil tiga yang disampaikan bulan Oktober 2013 sebagai sampelnya. Di urutan teratas Pidato di acara APEC, jelas semuanya pakai bahasa inggris tapi tak ada campuran Bahasa Indonesianya. Berikutnya, Pidato HUT ke-68 TNI, ada Bahasa Inggrisnya doong, 1)… untuk mencapai tahapan kekuatan esensial minimun --minimum essential force. 2) negara-negara sahabat dalam kesatuan gabungan --combined forces-- di berbagai operasi pemeliharaan perdamaian dan Operasi Militer Selain Perang bertaraf internasional. Insya Allah, melalui Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian---Peace Keeping Center---di Sentul,. Ketiga, Sambutan Pertemuan Bisnis Indonesia-Tiongkok (Hotel Shangri-La, Jakarta, 7/3/13) coba tebaak… Yak, anda benar, ada sodara-sodara. Ini dia 1) Produk Domestik Bruto (PDB) Puschasing Power Parity Indonesia juga telah meningkat dari 645 miliar dolar AS pada tahun 2004, menjadi 1,2 triliun dolar AS.; 2) Yang Mulia bersama saya baru saja menghadiri Pertemuan Puncak G-20 di Rusia, yang juga mendiskusikan gejolak dan tekanan baru perekonomian global, utamanya yang dihadapi negara-negara emerging markets. Sedikit catatan, ada salah tulis di web resmi itu yakni “Puschasing” sepertinya bermaksud menulis purchasing. Salah ketik, semoga pak Beye tak salah pas membacanya.
“Buah tak jatuh, jauh dari pohonnya”
Hobi berbahasa Inggris ini ternyata menurun ke anaknya tercinta, penerusnya kelak Mayor Agus Harimurti Yudhoyono. Sebagai prajurit TNI karirnya mengkilap, pendidikannya pun tak main-main. Lulusan Harvard dan NTU (Nanyang Tech. University, Singapore), terakhir muncul di berita terpilih jadi Alumni terbaik di NTU. Demikian biografi singkatnya. Kemarin sewaktu perhelatan APEC berlangsung di Bali, Mayor Agus memimpin delegasi perwira TNI untuk mengikuti acara CEO Summit. Tentu saja wartawan meliput, karena jarang terjadi Tentara aktif mengikuti acara para pimpinan perusahaan besar, kecuali jagain. Tapi ini beda, berikut penjelasan Mayor Agus, "Mereka perwira, tapi global picture apa yang terjadi ini mereka harus ngerti," katanya. Masih ada lanjutannya berikut ini "Kita punya tujuan yang sama yaitu stability, peace and security di kawasan kita. Jangan sampai terjadi disturbance," Tentara punya misi ekonomi, menarik, berpikir melampaui dwifungsi ABRI jaman dulu malah. Tapi kalau boleh saya menyarankan ya, kembali ke barak saja, menjaga kedaulantan Republik. Kembali ke topik pada paragraf berikutnya.
Ada kemiripan antara keduanya kan, selain kemiripan fisik mungkin bahasa juga menurun secara genetik. Cara berbahasa keduanya mirip, menggunakan kata-kata dalam Bahasa Inggris untuk merangkai kalimat dalam Bahasa Indonesia. Jadi ingat sama seseorang kan, Vicky Prasetyo. Nama ini sempat menghebohkan saat wawancara di acara pertunangannya dengan penyanyi dangdut Zaskia Gotik di jadikan bahan guyonan seantero negeri. Pertunangannya yang dibatalkan karena Ia keburu ditangkap polisi karena kasus penipuan. Namun, gaya yang intelek dan bahasa inggrisnya yang menarik itu menjadi tren hingga banyak parodi menirunya di Youtube. Berikut saya kutipkan pidatonya saat mencalonkan diri menjadi Kades Karang Asih: My name is Hendrianto "I am froms the birthday in Karang Asih city/ I have to my mind/ my pride/ I’m have to my said/ I’m get to the good everything If wanna come to inpestor to my place America, Europe and everything Japanese and Asia /I’m ready for they are I wanna give to the fresh and glory to my people It is Indonesia satu karang asih yang maju cerdas dan berakidah" (videonya dapat ditonton di sini. Pusing kan bacanya, entah dia ngomong apa.
Dari ketiga tokoh tersebut kemiripannya jelas, selalu memakai kata-kata dari Bahasa Inggris saat tampil di khalayak. Tapi tentu ketiga tokoh tersebut beda kelas. Dari perbedaan kelas ini, bisa ditelisik, apakah penggunaan bahasa campuran yang demikian ini sebuah usaha untuk menaikkan kelas sosial. Supaya dianggap sebagai bagian dari kaum berkelas, cara berbahasa harus disesuaikan dengan mencampur bahasa Indonesia dan Inggris dalam satu rangkaian kalimat. Kemampuan berbahasa asing memang sudah jadi kebutuhan pokok, tapi mencampur aduk bahasa menurut saya tidak perlu. Jikalau masih ada padanannya dalam bahasa Indonesia saya rasa tak perlulah memakai kata dalam bahasa asing. Bahasa Indonesia juga sudah keren kalau pemakainnya tepat. Sekaligus untuk mengurangi kesalahan penggunaan, seperti kutipan Lord Acton yang diucap pak Beye, kalau di Indonesiakan sebenarnya enak juga: Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut pastilah korup. Tak perlu mikir tata bahasanya, karena memang Bahasa Indonesia adalah keseharian.
Bahasa Indonesia, dalam UUD 1945 pada pasal 36 disebutkan “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Alangkah baiknya kita budayakan karena Bahasa ini bahasa perjuangan, pemersatu bangsa. Mengutip Ben Anderson dalam bukunya Imagined Communities, pemersatu bangsa-bangsa di Indonesia ini sesungguhnya adalah bahasa Indonesia, karena Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan wilayah disatukan olehnya. Alangkah baiknya jika para pesohor, terlebih pejabat negara mencontohkannya.
Sekian.
Karena iseng dan internet kenceng, saya coba mencari pidato-pidato pak Beye di tautan http://www.presidenri.go.id. Ada lima pidato pada kesempatan yang berbeda, saya ambil tiga yang disampaikan bulan Oktober 2013 sebagai sampelnya. Di urutan teratas Pidato di acara APEC, jelas semuanya pakai bahasa inggris tapi tak ada campuran Bahasa Indonesianya. Berikutnya, Pidato HUT ke-68 TNI, ada Bahasa Inggrisnya doong, 1)… untuk mencapai tahapan kekuatan esensial minimun --minimum essential force. 2) negara-negara sahabat dalam kesatuan gabungan --combined forces-- di berbagai operasi pemeliharaan perdamaian dan Operasi Militer Selain Perang bertaraf internasional. Insya Allah, melalui Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian---Peace Keeping Center---di Sentul,. Ketiga, Sambutan Pertemuan Bisnis Indonesia-Tiongkok (Hotel Shangri-La, Jakarta, 7/3/13) coba tebaak… Yak, anda benar, ada sodara-sodara. Ini dia 1) Produk Domestik Bruto (PDB) Puschasing Power Parity Indonesia juga telah meningkat dari 645 miliar dolar AS pada tahun 2004, menjadi 1,2 triliun dolar AS.; 2) Yang Mulia bersama saya baru saja menghadiri Pertemuan Puncak G-20 di Rusia, yang juga mendiskusikan gejolak dan tekanan baru perekonomian global, utamanya yang dihadapi negara-negara emerging markets. Sedikit catatan, ada salah tulis di web resmi itu yakni “Puschasing” sepertinya bermaksud menulis purchasing. Salah ketik, semoga pak Beye tak salah pas membacanya.
“Buah tak jatuh, jauh dari pohonnya”
Hobi berbahasa Inggris ini ternyata menurun ke anaknya tercinta, penerusnya kelak Mayor Agus Harimurti Yudhoyono. Sebagai prajurit TNI karirnya mengkilap, pendidikannya pun tak main-main. Lulusan Harvard dan NTU (Nanyang Tech. University, Singapore), terakhir muncul di berita terpilih jadi Alumni terbaik di NTU. Demikian biografi singkatnya. Kemarin sewaktu perhelatan APEC berlangsung di Bali, Mayor Agus memimpin delegasi perwira TNI untuk mengikuti acara CEO Summit. Tentu saja wartawan meliput, karena jarang terjadi Tentara aktif mengikuti acara para pimpinan perusahaan besar, kecuali jagain. Tapi ini beda, berikut penjelasan Mayor Agus, "Mereka perwira, tapi global picture apa yang terjadi ini mereka harus ngerti," katanya. Masih ada lanjutannya berikut ini "Kita punya tujuan yang sama yaitu stability, peace and security di kawasan kita. Jangan sampai terjadi disturbance," Tentara punya misi ekonomi, menarik, berpikir melampaui dwifungsi ABRI jaman dulu malah. Tapi kalau boleh saya menyarankan ya, kembali ke barak saja, menjaga kedaulantan Republik. Kembali ke topik pada paragraf berikutnya.
Ada kemiripan antara keduanya kan, selain kemiripan fisik mungkin bahasa juga menurun secara genetik. Cara berbahasa keduanya mirip, menggunakan kata-kata dalam Bahasa Inggris untuk merangkai kalimat dalam Bahasa Indonesia. Jadi ingat sama seseorang kan, Vicky Prasetyo. Nama ini sempat menghebohkan saat wawancara di acara pertunangannya dengan penyanyi dangdut Zaskia Gotik di jadikan bahan guyonan seantero negeri. Pertunangannya yang dibatalkan karena Ia keburu ditangkap polisi karena kasus penipuan. Namun, gaya yang intelek dan bahasa inggrisnya yang menarik itu menjadi tren hingga banyak parodi menirunya di Youtube. Berikut saya kutipkan pidatonya saat mencalonkan diri menjadi Kades Karang Asih: My name is Hendrianto "I am froms the birthday in Karang Asih city/ I have to my mind/ my pride/ I’m have to my said/ I’m get to the good everything If wanna come to inpestor to my place America, Europe and everything Japanese and Asia /I’m ready for they are I wanna give to the fresh and glory to my people It is Indonesia satu karang asih yang maju cerdas dan berakidah" (videonya dapat ditonton di sini. Pusing kan bacanya, entah dia ngomong apa.
Dari ketiga tokoh tersebut kemiripannya jelas, selalu memakai kata-kata dari Bahasa Inggris saat tampil di khalayak. Tapi tentu ketiga tokoh tersebut beda kelas. Dari perbedaan kelas ini, bisa ditelisik, apakah penggunaan bahasa campuran yang demikian ini sebuah usaha untuk menaikkan kelas sosial. Supaya dianggap sebagai bagian dari kaum berkelas, cara berbahasa harus disesuaikan dengan mencampur bahasa Indonesia dan Inggris dalam satu rangkaian kalimat. Kemampuan berbahasa asing memang sudah jadi kebutuhan pokok, tapi mencampur aduk bahasa menurut saya tidak perlu. Jikalau masih ada padanannya dalam bahasa Indonesia saya rasa tak perlulah memakai kata dalam bahasa asing. Bahasa Indonesia juga sudah keren kalau pemakainnya tepat. Sekaligus untuk mengurangi kesalahan penggunaan, seperti kutipan Lord Acton yang diucap pak Beye, kalau di Indonesiakan sebenarnya enak juga: Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut pastilah korup. Tak perlu mikir tata bahasanya, karena memang Bahasa Indonesia adalah keseharian.
Bahasa Indonesia, dalam UUD 1945 pada pasal 36 disebutkan “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Alangkah baiknya kita budayakan karena Bahasa ini bahasa perjuangan, pemersatu bangsa. Mengutip Ben Anderson dalam bukunya Imagined Communities, pemersatu bangsa-bangsa di Indonesia ini sesungguhnya adalah bahasa Indonesia, karena Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan wilayah disatukan olehnya. Alangkah baiknya jika para pesohor, terlebih pejabat negara mencontohkannya.
Sekian.
Langganan:
Postingan (Atom)