“Fasis yang baik
adalah fasis yang mati” (Homicide).
Kalau anda suka music hiphop indie, mungkin pernah dengar nama Homicide
rapper dari Bandung. Mengenang masa kuliah sarjana dulu, saya jadi ingat
petikan lirik lagu itu -judulnya “Puritan”. Definisi bebas dari fasisme kurang
lebih seperti ini: gerakan radikal dengan basis ideologi politik otoriter
bertujuan untuk mengatur nilai, sistem politik dan ekonomi suatu bangsa menurut perspektifnya.
Menyoal fasisme, tentu yang paling fenomenal dan terkenal adalah Nazi
Jerman dengan tokohnya Adolf Hitler. Jutaan manusia dibantai di Eropa karena
ide soal pemurnian ras Arya yang diikuti pengikutnya dengan takzim. Contoh fasis lain ada juga di Eropa, sebut
Musollini di Italia atau Jepang semasa Perang Dunia II dengan jargon menjadi
saudara tua bangsa-bangsa Asia. Demikian pula Soviet semasa dipimpin Stalin. Era
Nazi, Musollini, Stalin sudah lewat, tapi apakah fasisme juga hilang. Ternyata
tidak. Tren fasisme lama menjangkiti ideologi Negara, yang terbaru menjangkiti
agama. Kalau negara terbatasi wilayah dan bangsa, bagaimana kalau ini
menjangkit pada agama. Potensi daya rusaknya pada kemanusiaan tentu tak kalah
dahsyat.
Taliban di Afganistan dan Pakistan adalah fasis berbasis ideologi agama
yang menempuh jalur kekerasan. Soal korban terbarunya yang paling fenomenal
adalah Malala Yousafzai yang ditembak kepalanya karena dianggap melawan dengan
menuliskan pemikirannya tentang pendidikan untuk perempuan diblog. Usai
ditembak ia dirawat di Inggris dan meneruskan pendidikannya di sana sembari
menjadi ikon perlawanan terhadap Taliban. Taliban adalah contoh ekstrem, masih
ada yang lain sebutlah: Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Mereka tak
seradikal Taliban, tapi soal ke-fasis-an, tak kalah fasih.
Lalu apa hubungannya dengan New born
something… di Indonesia.
Kalau anda pernah jadi mahasiswa baru, tentu tahu betapa agresifnya rohis
menggaet anggota. Siapa di belakang rohis ini, pilihannya hanya 2: kalau bukan
HTI berarti PKS (lewat KAMMI sayap politiknya di mahasiswa). Sasaran utamanya
adalah kampus-kampus negeri yang bukan UIN (Universitas Islam Negeri). Mengapa
demikian? Karena mahasiswa baru di kampus-kampus tersebut lebih mudah diajak
dalam kegiatan “keagamaan” karena rata-rata dari mereka adalah jebolan sekolah
sekuler. UIN secara tradisional menjadi tujuan anak-anak dengan basis
pendidikan keagamaan (Madrasah Aliyah/Pesantren). Sebagai mahasiswa baru,
pencarian identitas adalah soal penting. Agama adalah salah satu jalan penemuan
identitas yang banyak terlewat semasa sekolah. Sebagai contoh, berapa banyak
perempuan beragama islam yang kemudian berjilbab saat kuliah. Ini jadi peluang
rekruitmen, lewat jalan mengenalkan kembali agama “yang benar” pada mahasiswa
baru.
Eureka, kata Archimedes usai menemukan hukum kesetimbangan volume. Eureka
berarti “aku menemukannya”, sebuah ungkapan atas pencerahan pemikiran. Sebentuk
euforia. Inilah yang jadi kekuatan dalam kaderisasi fasis agama di kampus-kampus. Melalui doktrin mereka
mengubah pandangan awam menjadi seorang penemu yang tercerahkan. Ini yang saya katakan
sebagai new born… Dan, semua new born… rata-rata merasa sudah
mempunyai kebenaran sejati atas apa yang baru ditemukannya. Seperti keluar dari
zaman kegelapan menuju kesempurnaan. Felix Siaw boleh jadi adalah contoh yang
ideal. Ia yang sebelumnya mualaf tionghoa, kini menjadi salah satu marketing
utama HTI di Indonesia. Ini kasus untuk new
born moslem, pada kasus lain pada agama dan ideologi apapun gejalanya sama.
Di alam demokrasi, semua orang bebas punya ideologi atau pemikiran apapun.
Namun ada ironi di sini, soal fasisme. Mereka anti demokrasi, namun mereka
hanya bisa hidup dan berkembang di negara demokrasi. Hizbut Tahrir berpusat di
Inggris dan punya cabang di Indonesia. PKS sebagai cabang dari Ikhwanul Muslimin
Mesir, menjadi partai politik di Indonesia. Seperti fasis pada umumnya mereka
selalu membawa isu kesamaan, dalam fasisme agama tentu yang ingin dibangun
adalah imaji kejayaan di masa lampau tentang kejayaan khilafah. Walau mereka
berada di Indonesia, isu yang terus menerus menjadi bahan bakar utamanya adalah
Palestina. Mudah sekali kita menemukan bendera Palestina saat berdemo sebagai
atributnya, baik dikibarkan atau menempel dipakaianya. Bukannya abai terhadap
persoalan Palestina, jelas ada pelanggaran hak asasi manusia di sana. Ada
kejahatan kemanusiaan, tak bisa kita pungkiri. Namun, isu yang mereka angkat
bukan itu, tetapi “umat Islam yang di bantai”dan “Islam dilecehkan”. Walau
mereka di Indonesia, jarang sekali mereka rajin mengangkat isu soal pendidikan,
kemiskinan atau lapangan pekerjaan yang tentunya juga permasalahan umat Islam.
Terang kalau, fasisme selalu memanfaatkan kondisi psikologis seperti :
frustasi, kemarahan dan perasaan tak aman. Untuk fasisme agama tentu jawaban
untuk keresahan-keresahan ini adalah doktrin kelompok mereka dengan ornamen
agama yang sempurna.
Persoalan maraknya kelompok fasis ini adalah disintegrasi. Dengan
memanfaatkan frase “Umat Islam” mereka menjadi teror (minimal psikis) untuk
kelompok-kelompok minoritas. Mereka menginginkan kesamaan yang selain mereka
adalah salah, dan seringkali disebut musuh.
Kalau fasisme model ini menjangkiti anak-anak muda kuliahan secara masif
mungkin tak lama lagi Indonesia akan berubah nama Indonistan mungkin. Menengok
sejarah, Islam tak masuk ke nusantara dengan prasangka kebencian. Pendekatan
kultural agama menjadi obat yang manjur melawan laju radikalisasi fasis jenis ini.
(Melbourne, 4/4/2014)