Di era internet, pintu kebebasan
informasi terbuka lebar, semua pendapat sah saja. Web 2.0 membuka ruang luas untuk soal ini. Susah kalau saling menyalahkan. Semua kembali
pada nilai yang dianut masing-masing orang yang turut berperan. Lagipula,
sebagian komentar keras dan kasar selalu muncul dari akun anonim, tak bisa
dipertanggungjawabkan opininya, dan tak perlu dipikir susah. Namun--selalu ada
tapi di sini--sesungguhnya kebebasan dan anonimitas di internet tak akan
menghapus jejak digital. Artinya, kalau
niat mau meluangkan waktu, lokasi bisa terdeteksi dan manusianya akan ketahuan. Era
digital menyempitkan dunia jadi selebar daun kelor.
Saya hendak berandai-andai menyoal
minoritas dan komentar berita online. Asumsi awalnya, pengakses internet adalah bagian dari
minoritas kelas menengah terdidik. Sekarang memang mengakses internet bisa dilakukan oleh semua orang, tapi untuk turut berkomentar dalam sebuah
berita secara interaktif diperlukan pengetahuan lebih. Walaupun demikian, minoritas
pun majemuk, tak bersuara sama. Mereka setidaknya mewakili kelompok yang bisa
disederhanakan menjadi dua, yakni mendukung dan melawan.
Merangkai komentar pada berita online dengan isu minoritas membuat saya
merujuk pada teori “spiral of silence”
–nya Elisabeth Noelle-Neumann. Singkat cerita, andai benar saya
merangkaikannya, apa yang muncul di komentar berita adalah pangkal dari spiral
yang akan membesar, mengikuti perkembangan arah opini. Gambar berikut meringkas
bagaimana teori “spiral of silence” bekerja.
Mari kita dudukkan dalam konteks
kejadian nyata. Studi kasusnya adalah berita soal rencana FPI menggelar demo tiap minggu untuk menggusur Lurah Susan di LentengAgung. Alasannya, tak pantas seorang wanita beragama Kristen menjadi pimpinan
di daerah yang mayoritas penduduknya Islam.
Berita ini memanen 271 komentar; hampir
semua mengecam rencana FPI. Perhatikan bahwa, seperti biasa, FPI ngeyel menggunakan logika mayoritas
mereka. Timbul pertanyaan, apa iya mereka benar-benar mayoritas? Ataukah mereka hanya mewakili
mayoritas, atau justru hanya berlindung di balik status mayoritas? Merujuk pada teori “spiral of silence”, sesungguhnya merekalah
yang minoritas di ranah maya. Dalam
keseharian benarkah mereka adalah “mayoritas”? Mari kita telusuri.
Pembalikan Arah Kekuasaan = Pembalikan Arah Kebencian
Sejarah kebencian akan minoritas punya
akar panjang di Indonesia, terekam sejak zaman kolonial Belanda. Pengkategorian
berdasarkan suku, agama dan ras oleh pemerintah kolonial tentu punya tujuan, mempermudah
kontrol sosial. Dengan mengklasifikasikan warga berdasarkan kategori itu,
strategi pemerintahan mereka berjalan. Hierarki juga disusun, kaum kolonial menempati
posisi puncak. Semua kategori lain ada di bawah, dengan kategori pribumi berada
di dasar piramida. Model hierarki dan kategori ini menunjukkan siapa yang
berkuasa. Bahasa sosiologi menyebut pengelompokan ini stratifikasi.
Ketika kemerdekaan
diproklamirkan, sontak keadaan berubah. Hierarki kolonial runtuh, tapi sayang
kategorinya masih bertahan dan diadopsi oleh kekuasaan baru. Hierarki yang
berubah membuat kelas dari kategori berpindah posisi. Singkat kata, pribumi
dengan jumlah terbanyak menjadi penguasa. Piramida kelas sosial pun berbalik. Saya
menduga, logika mayoritas dimulai di sini. Untuk tema pembicaraan kita ini,
konsep mayoritas akan berkelindan dengan kategori identitas lain, yakni antara
agama dan suku.
Islam adalah agama mayoritas, identik
dengan arab sebagai asal muasalnya. Penganutnya di Indonesia mayoritas tentunya
adalah pribumi. Nah, sekarang mari kita telisik soal FPI. Pimpinan mereka menyebut diri sebagai
“habib” yang dalam penafsirannya
adalah keturunan Rosulullah yang bersuku arab. Walau keturunan arab adalah
minoritas, karena mereka beragama Islam, jadilah mereka bagian dari kaum mayoritas.
Ditambah label (atau klaim) “keturunan nabi” posisi pimpinan FPI ini menjadi
istimewa, setidaknya di hadapan pengikutnya, bukan tuhannya tentu.
Secara kasat mata mereka menampilkan gaya berbusana “arab” untuk memperkuat simbol Islam. Selain itu, mereka selalu mengatasnamakan umat Islam saat bertindak. Hal ini tentu memperkuat posisi sebagai mayoritas. Dengan cara pembacaan ini, klaim FPI sebagai mayoritas adalah imajinasi semata. Kita pakai logika sederhana: FPI sering menguasai jalan raya, berperilaku seenaknya, sementara jalanan adalah tempat umum di mana masyarakat Indonesia--yang mayoritas beragama Islam--menggunakannya. Adakah mereka senang ketika kelompok ini serampangan berkendara seenak udelnya? Tentu saja tidak, Saudara.
Secara kasat mata mereka menampilkan gaya berbusana “arab” untuk memperkuat simbol Islam. Selain itu, mereka selalu mengatasnamakan umat Islam saat bertindak. Hal ini tentu memperkuat posisi sebagai mayoritas. Dengan cara pembacaan ini, klaim FPI sebagai mayoritas adalah imajinasi semata. Kita pakai logika sederhana: FPI sering menguasai jalan raya, berperilaku seenaknya, sementara jalanan adalah tempat umum di mana masyarakat Indonesia--yang mayoritas beragama Islam--menggunakannya. Adakah mereka senang ketika kelompok ini serampangan berkendara seenak udelnya? Tentu saja tidak, Saudara.
Ditilik dari sejarahnya, FPI
sendiri dibentuk untuk kepentingan politik jangka pendek era reformasi. Kelompok
Islam adalah kamuflase brilian. Saya tak hendak bicara banyak soal ini; Anda bisa membacanya lebih lengkap di sini.
Mari kita lanjutkan soal pembalikan arah kekuasaan.
Mari kita lanjutkan soal pembalikan arah kekuasaan.
Saya berpendapat, komentar yang
kontra FPI adalah tikungan putar balik arah kekuasaan. Pembiaran aksi kekerasan
yang dilakukan FPI oleh Kepolisian bukan barang baru. Bahkan, dalam waktu yang
berdekatan di bulan Oktober tahun ini, ada dua orang menteri (Mendagri dan
Menkumham) yang menyatakan dukungannya pada kelompok ini. (Saya menyebutnya
kelompok karena mereka tak punya dasar hukum sebagai organisasi yang diakui negara).
Tentu kutipan yang bersumber dari Menteri bukan tanpa perhitungan, melainkan ada agenda
yang disiapkan. Tujuannya barangkali politis, pengalihan isu dan (amit-amit) mengarahkan
terjadinya konflik horizontal.
Mendagri, erat kaitannya dengan komentarsebelumnya, meminta Gubernur DKI mengevaluasi penempatan Lurah Susan di Lenteng Agung. Komentar pertamanya ini menuai hujatan, hingga sempat bergesekan dengan Wagub Ahok yang menyarankan Mendagri belajar konstitusi. Komentar mendagri yang menyarankan Pemda bekerja sama dengan FPI tentu disambut gembira kelompok ini, dan langsung bereaksi, berkoar akan menurunkan Wagub. Wajar kalau ditengarai Mendagri sedang mengeluarkan dua jurus sekaligus: “nabok nyilih tangan” (pinjam tangan untuk memukul) dan “sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui”. Memakai pemeran pengganti untuk berkonflik sekaligus berkelit dari kasus e-ktp yang sudah menjalar ke kisruh penentuan DPT (Daftar Pemilih Tetap) KPU untuk pemilu 2014.
Mendagri, erat kaitannya dengan komentarsebelumnya, meminta Gubernur DKI mengevaluasi penempatan Lurah Susan di Lenteng Agung. Komentar pertamanya ini menuai hujatan, hingga sempat bergesekan dengan Wagub Ahok yang menyarankan Mendagri belajar konstitusi. Komentar mendagri yang menyarankan Pemda bekerja sama dengan FPI tentu disambut gembira kelompok ini, dan langsung bereaksi, berkoar akan menurunkan Wagub. Wajar kalau ditengarai Mendagri sedang mengeluarkan dua jurus sekaligus: “nabok nyilih tangan” (pinjam tangan untuk memukul) dan “sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui”. Memakai pemeran pengganti untuk berkonflik sekaligus berkelit dari kasus e-ktp yang sudah menjalar ke kisruh penentuan DPT (Daftar Pemilih Tetap) KPU untuk pemilu 2014.
Berbaliknya arah kekuasaan yang
saya maksudkan adalah ketika pemerintahan pusat diisi orang-orang baru yang
sejak awal berseberangan dengan kelompok ini dan tak merasa perlu memakai
jasanya. Tentu ini akan membuat posisi mereka limbung. Walau mereka selalu
berlindung dalam payung mayoritas, sesungguhnya yang membuat mereka kuat adalah
pembiaran (atau malah perlindungan) aparat keamanan ketika mereka membuat
kekacauan.
Pada beberapa kasus yang mereka prakarsai, para korban justru dijadikan tersangka dan dijatuhi hukuman. Sebut saja kasus yang memakan korban jiwa: Ahmadiyah Cikeusik. Korban bahkan dihukum lebih berat dari pelakunya. Tentu ini mencederai rasa keadilan karena tindakan hukum atas FPI hampir-hampir tidak ada. Pembelaannya apalagi kalau bukan karena mereka “mewakili” mayoritas dan tindakan minoritas “meresahkan” atau sesat. Cepat atau lambat, pastilah kesewenangan mereka menanamkan dendam.
Pada beberapa kasus yang mereka prakarsai, para korban justru dijadikan tersangka dan dijatuhi hukuman. Sebut saja kasus yang memakan korban jiwa: Ahmadiyah Cikeusik. Korban bahkan dihukum lebih berat dari pelakunya. Tentu ini mencederai rasa keadilan karena tindakan hukum atas FPI hampir-hampir tidak ada. Pembelaannya apalagi kalau bukan karena mereka “mewakili” mayoritas dan tindakan minoritas “meresahkan” atau sesat. Cepat atau lambat, pastilah kesewenangan mereka menanamkan dendam.
Sejarah Republik mencatat,
kesewenangan semacam ini akan menuai balas. Ingat kejadian tahun ’65 ketika terjadi
pembantaian besar-besaran pada orang yang disangka terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Semua
yang disangka PKI dibantai tanpa kecuali. Pemicunya, selain mereka memang dikorbankan
oleh Soeharto dengan dalih jadi dalang Gerakan 30 September, PKI tak
disukai karena seringkali berlaku arogan. Maklum saja, semasa itu (1955-1965) mereka partai terbesar dan dekat dengan presiden. Sebelum kejatuhannya, PKI
merasa diatas angin karena jargon NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) yang
disuarakan Presiden Soekarno. Begitu kekuasan beralih, mereka jadi tumbal. Siapa
menabur angin, menuai badai.
Bukan tak mungkin hal serupa akan
terjadi pada FPI. Saat ini mereka kesayangan penguasa. Sewaktu-waktu
kepentingan berubah atau kekuasaan berpindah, bisa jadi mereka akan dikorbankan
atau jadi tumbal. Minoritas yang
diasosiasikan dekat dengan FPI, keturunan arab, atau yang sekedar hobi
meng-arab-kan diri, akan kena imbasnya. Selentingan komentar kebencian pada
mereka sudah beredar di dunia maya. Kejadian di lapangan seperti kasus Kendal
adalah bukti nyata perlawanan “mayoritas diam” pada kesewenangan mereka.
Lewat komentar-komentar di berita
online, saya merasakan “spiral of silence" bekerja dan mengarah
pada pembentukan kuasa. Tahun depan Pemilu akan berlangsung, dan itu artinya rezim penyokong FPI tak punya kuasa lagi. Saat kekuasaan mewakili “mayoritas diam”, maka
pembalikan kebencian akan terjadi.
Sekarang mereka boleh menebar benci dan mengumbar anarki. Mengatasnamakan diri umat, berlindung sebagai “mayoritas”. Nanti ketika kuasa tak lagi menyokong mereka, mari kita lihat bersama bagaimana sejarah bekerja.
Semoga saja kelak kelompok-kelompok macam ini tak perlu muncul lagi. Tak dijadikan komoditas penguasa. Tak menggunakan agama sebagai pembenar tindakannya. Mari kita rawat kebebasan dengan menghargai perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika.
Sekarang mereka boleh menebar benci dan mengumbar anarki. Mengatasnamakan diri umat, berlindung sebagai “mayoritas”. Nanti ketika kuasa tak lagi menyokong mereka, mari kita lihat bersama bagaimana sejarah bekerja.
Semoga saja kelak kelompok-kelompok macam ini tak perlu muncul lagi. Tak dijadikan komoditas penguasa. Tak menggunakan agama sebagai pembenar tindakannya. Mari kita rawat kebebasan dengan menghargai perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika.