Senin, 03 Desember 2007

Antara Tuhan dan Warna Ke-daifan manusia yang dilupakan

Tentang Tuhan dan Empirisme yang tak Terkonsepsikan

Antara Tuhan dan Warna

Ke-daifan manusia yang dilupakan

Oleh: Aulia Latif


Ada atau tidak adanya Tuhan menjadi kontroversi bagi manusia, telah melahirkan berbagai konstruksi konsepsi argumen yang keduanya, sama-sama hebat. Bahkan bagi sesama manusia yang meyakini adanya tuhan sekalipun, dalam bingkai keyakinan yang berbeda sekalipun, konsepsi tentang tuhan terbangun dengan apik dan rapi. Agama adalah konstruksi konsep tentang tuhan yang memberikan argumen dengan teks-teks suci yang katanya-“tak terbantahkan”- sangat jelas, walau tak seorangpun pernah melihatnya.

Melihat berarti memaknai yang terlihat dengan panca indera, yakni mata. Setelah melihat manusia dapat mengkonstruksikan apa yang dilihatnya. Memakai pemahaman empirik, melihat, maupun kegiatan mencecap kenyataan dengan panca indera akan memperoleh hal yang disebut realistis. Atau dalam bahasa awamnya nyata. Yang terlihat atau yang tercecap oleh panca indera lainnya adalah yang “nyata”. Diluar hal itu tidak ada yang nyata, berarti konsepsi tentang tuhan pun akan dibantah empirisme karena tak dapat dicecap panca indera. Empirisme ini kemudian melahirkan pahan positivistik yang mengagungkan sesuatu yang dianggap logis dan universal karena dapat dirasakan dan dibuktikan oleh manusia dimanapun.

Tapi, ada yang dilupakan oleh keduanya. Dari yang terlihat, yang nyata dan tak pernah terusik oleh konsepsi manusia. Saya akan mulai berargumen mengenai Tuhan dan Warna. Tuhan adalah sesuatu yang jauh dari jangkauan manusia tapi dapat dikonstruksikan secara rapi, baik yang merasa harus membelanya maupun harus melawannya. Bandingkan dengan warna, dapat dilihat dan jelas-jelas ada dalam keseharian manusia, baik yang mengakui tuhan maupun tidak. Kemudian permasalahannya adalah dapatkah warna dikonsepsikan manusia sebaik Tuhan? Boleh jadi jika keyakinan tentang Tuhan selalu menyertai kita walau tak terlihat maka dapat dikonsepsikan. Bukankah warna juga menyertai kita dan seharusnya konsepsinya dapat dikonstruksikan sebaik, bahkan lebih baik dari tuhan yang tak pernah kita lihat. Tidak akan menjadi masalah jika penjelasan konsepsi tentang warna disampaikan pada manusia yang dapat menggunakan indera penglihatannya, selanjutnya bagaimana dengan orang buta (sejak lahir) dapatkah dia memaknai warna yang dikonsepsikan dalam bahasa. Akan berbeda dengan tuhan yang dikonsepsikan dalam bahasa disampaikan pada orang buta, ia akan lebih mudah menerima dan bisa memaknainya. Penjelasan tentang warna akan berada diseputar benda yang memiliki warna yang dikonsepsikan. Semisal warna hijau adalah warna daun, warna biru adalah warna langit dan berbagai pertautan dengan benda yang harus “dilihat” untuk memaknainya. Sejauh ini saya belum menemukan pemaknaan konsepsi warna yang lebih jelas dibandingkan dengan konsepsi tentang tuhan. Untuk itu saya akan mengutip penjelasan dari kamus1 tentang tuhan dan warna (saya akan memperjelasnya dengan memberikan contoh warna merah):

  • Tuhan: sesuatu yang diyakini, dipuja, disembah oleh manusia sebagai yang maha kuasa, maha perkasa dsb...

  • Warna : Kesan yang diperoleh mata dari cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang dikenainya; corak rupa seperti biru dan hijau...

  • Merah: warna dasar yang serupa dengan warna darah

Dalam persepsi saya akan lebih mudah untuk mengkonsepsikan makna tuhan dan menyampaikannya kepada orang buta, dibandingkan dengan melakukan hal serupa dengan warna. Tuhan akan lebih mudah untuk disampaikan karena setelah diyakini konsekwensi lain akan datang beriringan untuk memperkuat konstruksi tentangnya. Tidak demikian dengan warna yang mensyaratkan harus dilihat pada benda sebelum dimaknai. Ironisnya makna dari warna tak bisa sejelas tuhan yang memiliki dukungan argumen dengan banyak kutipan dari kitab-kitab suci maupun teks-teks pendukung lain.

Saya meyakini, sebenarnya semua manusia yang berbahasa adalah buta terhadap yang nyata, hanya dapat meraba dan mereka-reka. Realitas yang dimaknai adalah bentuk imajiner dan simbolik yang terekam dalam bahasa. Apa yang ditunjukkan ketika memaknai warna sangatlah bergantung pada penglihatan yang sangat nyata, namun tak dapat dijelaskan dalam konsepsi utuh konstruksi bahasa. Tuhan yang tak dapat dilihat, dapat terjelaskan dengan lebih terperinci. Bukankah seharusnya sebaliknya yang terjadi. Bukankah manusia adalah daif2 (lemah). Memaknai tuhan dengan “sempurna”, tapi tak pernah bisa memaknai keseharian warna.


1 Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, 1993. Balai Pustaka

2 Kata ini seringkali digunakan oleh Gunawan Mohammad

Tidak ada komentar:

Mesin Pencari