Kamis, 28 Agustus 2008

Masjid

Masjid adalah tempat ibadah orang islam, dalam prakteknya tempat ibadah ini bisa menjadi sumber kekuasaan yang bisa jadi mempengaruhi posisi pemrakarsanya. Masjid di sebuah kompleks pemukiman adalah biasa. Sebagian besar masyarakat indonesia terutama di Jawa, adalah muslim. Wajar jika masjid dominan di permukiman di Jawa. Namun ada hal yang menarik dari masjid yang berdiri di pemukiman liar di perkotaan. Setelah rumah-rumah dibangun, kemudian masjid berdiri. Inilah yang saya lihat di kota kelahiran saya, solo. Pasca kerusuhan ’98 banyak pemukiman liar yang berdiri disepanjang bantaran sungai, lahan kosong dan rel kereta api.

Perhatian saya tertuju pada masjid masjid yang berdiri di pemukiman-pemukiman liar ini. Kenapa mereka (penghuni pemukiman liar) selalu membangun masjid. Hal ini saya temukan di dua pemukiman liar yang sering saya lewati, di dekat jembatan Kalianyar Ngemplak dan belakang kampus UNS Kentingan. Pernah juga sekali saya salat di masjid yang ada di pemukiman liar dibelakang UNS. Saya tergelitik untuk berpikir, sebenarnya telah ada masjid yang berada dekat dengan pemukiman ini tapi mengapa mereka membangun masjid sendiri. Awalnya jawaban saya standar saja, mereka butuh tempat untuk beribadah yang dekat. Seiring dengan bertambahnya pengetahuan saya tentang pemaknaan terhadap suatu bangunan, saya mulai berpikir ulang.

Masjid adalah tempat ibadah muslim, yang selalu identik dengan Umat Islam. Ingatan saya tentang kerusuhan ’98 saya bongkar kembali, saat itu untuk mengamankan toko dari penjarahan dan pembakaran pemilik toko menuliskan pribumi muslim didepan atau tembok tokonya. Harapannya dengan memakai identitas muslim dan pribumi, harta benda pemilik toko menjadi aman. Sangat mungkin, sebagian besar orang kecewa yang rusuh merupakan bagian dari “umat islam” yang mayoritas, sehingga (harapannya) mereka tidak akan menyerang sesamanya. Jika di pemukiman liar ada masjid bukankan itu penegasan pada identitas ke-islaman yang lebih kuat. Siapa yang menyangkal jika, masjid adalah simbol terkuat dari umat islam, sebagai penanda kuasa atas ruang.

Makna yang terbangun dari adanya masjid di pemukiman liar adalah representasi adanya “umat islam” disana. Kemudian, dalam doktrin yang sering didengar oleh masyarakat: muslim harus membantu sesamanya karena mereka bersaudara. Kekuatan emosional yang terbangun dari adanya masjid sangat besar. Kekuatan ini akan sangat berguna pada saat otoritas atau pemilik tanah yang sah melakukan penertiban, masjid akan menaikkan daya tawar mereka. Apalagi jika penggusuran dilakukan secara paksa, konfliknya berpotensi untuk berkembang menjadi isu agama karena masjid ikut digusur. Di kota Solo yang sering disebut sebagai kota sumbu pendek ini sangat mungkin terjadi. Track record kerusuhan di kota ini mengkin yang paling panjang, paling tidak di Jawa Tengah.

Pikiran saya tentang masjid di pemukiman liar ini belum tentu benar, sangat mungkin saya salah. Bisa jadi tujuan para pemrakarsa masjid tersebut hanya untuk membangun tempat untuk beribadah. Namun, tetap saja bangunan merupakan monumen kepentingan manusia. Semisal Taj Mahal, sebuah masjid, tapi ia bukan sekedar tempat ibadah. Taj Mahal merupakan monumen cinta seorang raja pada permaisurinya dan sebagai bukti betapa berkuasanya raja saat iru. Saya pikir demikian halnya dengan masjid di pemukiman liar. Ia merupakan strategi pembentuk kekuatan (kekuasaan) dengan menggunakan ikatan emosional sebagai strategi pertahanan diri para penghuninya. Masjid tidak lagi berfungsi hanya sebagai tempat ibadah, ia bisa jadi menjadi legitimasi kuasa alternatif atas ruang.

Minggu, 03 Agustus 2008

Pertandingan Olah Raga: Ruang Baru Nasionalisme

Benar kata Kenz, ia bilang ada nasionalisme dalam sepakbola. Namun, perlu diingat itu hanya terjadi selama event berlangsung, tidak setiap saat. Dalam berbagai event olahraga kini menjadi ruang bagi nasionalisme. Bulu tangkis bisa jadi merupakan fondasi nasionalisme Indonesia yang tersisa saat ini. Walaupun sudah meredup, paling tidak Indonesia masih diperhitungkan. Sepakbola sepertinya terlalu susah menyulut nasionalisme secara intensif, beda jika menjadi penyulut kerusuhan, ia sangatlah konsisten. Sederhananya, menurut saya, nasionalisme adalah euforia ia bisa redup-terang, pasang-surut, timbul-tenggelam. Nasionalisme selalu membutuhkan ruang untuk meng-ada, olahraga adalah salah satunya. Jika nasionalisme masih diinginkan dan dibutuhkan, ruang-ruang baru harus selalu dibuka dan diciptakan. Saya tekankan olahraga hanya salah satunya. dan lagi, jika nasionalisme hanya digantungkan pada olahraga. Akan bagus jika menang, tapi bagaimana jika kalah. Nasionalisme tetap ada tapi meredup, jika terus kalah akan makin redup, bukan mustahil suatu saat padam. Nasionalisme adalah imajinasi bagi rasa berbangsa, bernegara dan bertanah air. Jika nasionalisme itu padam, maka tak ada lagi bangsa, negara dan tanah air.
Ada hal menarik tentang nasionalisme dalam bulutangkis. Ini terkait dengan diskriminasi terhadap ras cina. Semua orang Indonesia tahu, atlit bulutangkis dari Liem Swei King sampai kini, banyak atlitnya keturunan cina. Secara de jure mereka adalah orang indonesia, namun mereka tetap memiliki tambahan label keturunan. Selama even pertandingan bulutangkis berlangsung, mereka menjadi sangat Indonesia. Perbedaan mereka yang keturunan menjadi lebur dalam "Indonesia". Seluruh negeri menjadi satu dalam nasionalisme. Jika menang nasionalisme membumbung tinggi, ingat saat Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma meraih emas tunggal putri dan putra dalam olimpiade. Seluruh negeri memuji mereka, tidak lagi memandang mereka keturunan cina atau pribumi, mereka Indonesia dan kita Indonesia, mari kita rayakan nasionalisme. Begitulah cerita kecil kebhinekaan dalam ruang olahraga yang menghidupkan nasionalisme. Semoga cerita kecil ini sering diungkap, supaya nasionalisme saat redup tak lagi mendua, menjadi pribumi dan keturunan.
Ada pula nasionalisme terjadwal, reguler, sebuah perayaan hari kemerdekaan yang sebentar lagi kita rayakan- ini juga sebuah ruang yang masih bisa menjadi persinggahan nasionalisme untuk mengada.

Ditulis di Loji Gandrung Solo.

Mesin Pencari