Kamis, 31 Oktober 2013

(FPI) Imajinasi Mayoritas si minoritas

Baru saja usai membaca berita di media online Indonesia. Berita yang menjadi perhatian saya: sepak terjang Front Pembela Islam (FPI) dan komentar-komentar pembacanya. Sebagian besar yang anti mengasosiasikan sepak terjang organisasi ini--dari pemimpin, perilaku dengan segala atributnya--identik dengan ke-arab-an dan tentu saja membawa-bawa Islam. Karena perilaku anarkisnya, komentar-komentar untuk berita soal FPI seringkali dilontarkan dengan keras bahkan kasar, kadang membabi-buta menyasar agama dan sering lolos dari sensor pengelola situs. Miris.

Di era internet, pintu kebebasan informasi terbuka lebar, semua pendapat sah saja. Web 2.0  membuka ruang luas untuk soal ini. Susah kalau saling menyalahkan. Semua kembali pada nilai yang dianut masing-masing orang yang turut berperan. Lagipula, sebagian komentar keras dan kasar selalu muncul dari akun anonim, tak bisa dipertanggungjawabkan opininya, dan tak perlu dipikir susah. Namun--selalu ada tapi di sini--sesungguhnya kebebasan dan anonimitas di internet tak akan menghapus jejak digital.  Artinya, kalau niat mau meluangkan waktu, lokasi bisa terdeteksi dan manusianya akan ketahuan. Era digital menyempitkan dunia jadi selebar daun kelor.

Saya hendak berandai-andai menyoal minoritas dan komentar berita online. Asumsi awalnya, pengakses internet adalah bagian dari minoritas kelas menengah terdidik. Sekarang memang mengakses internet bisa dilakukan oleh semua orang, tapi untuk turut berkomentar dalam sebuah berita secara interaktif diperlukan pengetahuan lebih. Walaupun demikian, minoritas pun majemuk, tak bersuara sama. Mereka setidaknya mewakili kelompok yang bisa disederhanakan menjadi dua, yakni mendukung dan melawan.

Merangkai komentar pada berita online dengan isu minoritas membuat saya merujuk pada teori “spiral of silence” –nya Elisabeth Noelle-Neumann. Singkat cerita, andai benar saya merangkaikannya, apa yang muncul di komentar berita adalah pangkal dari spiral yang akan membesar, mengikuti perkembangan arah opini. Gambar berikut meringkas bagaimana teori “spiral of silence” bekerja.


Mari kita dudukkan dalam konteks kejadian nyata. Studi kasusnya adalah berita soal rencana FPI menggelar demo tiap minggu untuk menggusur Lurah Susan di LentengAgung. Alasannya, tak pantas seorang wanita beragama Kristen menjadi pimpinan di daerah yang mayoritas penduduknya Islam.

Berita ini memanen 271 komentar; hampir semua mengecam rencana FPI. Perhatikan bahwa, seperti biasa, FPI ngeyel menggunakan logika mayoritas mereka. Timbul pertanyaan, apa iya mereka benar-benar mayoritas? Ataukah mereka hanya mewakili mayoritas, atau justru hanya berlindung di balik status mayoritas? Merujuk pada teori “spiral of silence”, sesungguhnya merekalah yang minoritas di ranah maya. Dalam keseharian benarkah mereka adalah “mayoritas”? Mari kita telusuri.

Pembalikan Arah Kekuasaan = Pembalikan Arah Kebencian

Sejarah kebencian akan minoritas punya akar panjang di Indonesia, terekam sejak zaman kolonial Belanda. Pengkategorian berdasarkan suku, agama dan ras oleh pemerintah kolonial tentu punya tujuan, mempermudah kontrol sosial. Dengan mengklasifikasikan warga berdasarkan kategori itu, strategi pemerintahan mereka berjalan. Hierarki juga disusun, kaum kolonial menempati posisi puncak. Semua kategori lain ada di bawah, dengan kategori pribumi berada di dasar piramida. Model hierarki dan kategori ini menunjukkan siapa yang berkuasa. Bahasa sosiologi menyebut pengelompokan ini stratifikasi.

Ketika kemerdekaan diproklamirkan, sontak keadaan berubah. Hierarki kolonial runtuh, tapi sayang kategorinya masih bertahan dan diadopsi oleh kekuasaan baru. Hierarki yang berubah membuat kelas dari kategori berpindah posisi. Singkat kata, pribumi dengan jumlah terbanyak menjadi penguasa. Piramida kelas sosial pun berbalik. Saya menduga, logika mayoritas dimulai di sini. Untuk tema pembicaraan kita ini, konsep mayoritas akan berkelindan dengan kategori identitas lain, yakni antara agama dan suku.

Islam adalah agama mayoritas, identik dengan arab sebagai asal muasalnya. Penganutnya di Indonesia mayoritas tentunya adalah pribumi. Nah, sekarang mari kita telisik soal FPI. Pimpinan mereka menyebut diri sebagai “habib” yang dalam penafsirannya adalah keturunan Rosulullah yang bersuku arab. Walau keturunan arab adalah minoritas, karena mereka beragama Islam, jadilah mereka bagian dari kaum mayoritas. Ditambah label (atau klaim) “keturunan nabi” posisi pimpinan FPI ini menjadi istimewa, setidaknya di hadapan pengikutnya, bukan tuhannya tentu.

Secara kasat mata mereka menampilkan gaya berbusana “arab” untuk memperkuat simbol Islam. Selain itu, mereka selalu mengatasnamakan umat Islam saat bertindak. Hal ini tentu memperkuat posisi sebagai mayoritas. Dengan cara pembacaan ini, klaim FPI sebagai mayoritas adalah imajinasi semata. Kita pakai logika sederhana: FPI sering menguasai jalan raya, berperilaku seenaknya, sementara jalanan adalah tempat umum di mana masyarakat Indonesia--yang mayoritas beragama Islam--menggunakannya. Adakah mereka senang ketika kelompok ini serampangan berkendara seenak udelnya? Tentu saja tidak, Saudara.    

Ditilik dari sejarahnya, FPI sendiri dibentuk untuk kepentingan politik jangka pendek era reformasi. Kelompok Islam adalah kamuflase brilian. Saya tak hendak bicara banyak soal ini; Anda bisa membacanya lebih lengkap di sini.

Mari kita lanjutkan soal pembalikan arah kekuasaan.

Saya berpendapat, komentar yang kontra FPI adalah tikungan putar balik arah kekuasaan. Pembiaran aksi kekerasan yang dilakukan FPI oleh Kepolisian bukan barang baru. Bahkan, dalam waktu yang berdekatan di bulan Oktober tahun ini, ada dua orang menteri (Mendagri dan Menkumham) yang menyatakan dukungannya pada kelompok ini. (Saya menyebutnya kelompok karena mereka tak punya dasar hukum sebagai organisasi yang diakui negara). Tentu kutipan yang bersumber dari Menteri bukan tanpa perhitungan, melainkan ada agenda yang disiapkan. Tujuannya barangkali politis, pengalihan isu dan (amit-amit) mengarahkan terjadinya konflik horizontal.

Mendagri, erat kaitannya dengan komentarsebelumnya, meminta Gubernur DKI mengevaluasi penempatan Lurah Susan di Lenteng Agung. Komentar pertamanya ini menuai hujatan, hingga sempat bergesekan dengan Wagub Ahok yang menyarankan Mendagri belajar konstitusi. Komentar mendagri yang menyarankan Pemda bekerja sama dengan FPI  tentu disambut gembira kelompok ini, dan langsung bereaksi, berkoar akan menurunkan Wagub. Wajar kalau ditengarai Mendagri sedang mengeluarkan dua jurus sekaligus: “nabok nyilih tangan” (pinjam tangan untuk memukul) dan “sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui”. Memakai pemeran pengganti untuk berkonflik sekaligus berkelit dari kasus e-ktp yang sudah menjalar ke kisruh penentuan DPT (Daftar Pemilih Tetap) KPU untuk pemilu 2014.

Berbaliknya arah kekuasaan yang saya maksudkan adalah ketika pemerintahan pusat diisi orang-orang baru yang sejak awal berseberangan dengan kelompok ini dan tak merasa perlu memakai jasanya. Tentu ini akan membuat posisi mereka limbung. Walau mereka selalu berlindung dalam payung mayoritas, sesungguhnya yang membuat mereka kuat adalah pembiaran (atau malah perlindungan) aparat keamanan ketika mereka membuat kekacauan.

Pada beberapa kasus yang mereka prakarsai, para korban justru dijadikan tersangka dan dijatuhi hukuman. Sebut saja kasus yang memakan korban jiwa: Ahmadiyah Cikeusik. Korban bahkan dihukum lebih berat dari pelakunya. Tentu ini mencederai rasa keadilan karena tindakan hukum atas FPI hampir-hampir tidak ada. Pembelaannya apalagi kalau bukan karena mereka “mewakili” mayoritas dan tindakan minoritas “meresahkan” atau sesat. Cepat atau lambat, pastilah kesewenangan mereka menanamkan dendam.

Sejarah Republik mencatat, kesewenangan semacam ini akan menuai balas. Ingat kejadian tahun ’65 ketika terjadi pembantaian besar-besaran pada orang yang disangka terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Semua yang disangka PKI dibantai tanpa kecuali. Pemicunya, selain mereka memang dikorbankan oleh Soeharto dengan dalih jadi dalang Gerakan 30 September, PKI tak disukai karena seringkali berlaku arogan. Maklum saja, semasa itu (1955-1965) mereka partai terbesar dan dekat dengan presiden. Sebelum kejatuhannya, PKI merasa diatas angin karena jargon NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) yang disuarakan Presiden Soekarno. Begitu kekuasan beralih, mereka jadi tumbal. Siapa menabur angin, menuai badai.

Bukan tak mungkin hal serupa akan terjadi pada FPI. Saat ini mereka kesayangan penguasa. Sewaktu-waktu kepentingan berubah atau kekuasaan berpindah, bisa jadi mereka akan dikorbankan atau jadi tumbal. Minoritas yang diasosiasikan dekat dengan FPI, keturunan arab, atau yang sekedar hobi meng-arab-kan diri, akan kena imbasnya. Selentingan komentar kebencian pada mereka sudah beredar di dunia maya. Kejadian di lapangan seperti kasus Kendal adalah bukti nyata perlawanan “mayoritas diam” pada kesewenangan mereka.

Lewat komentar-komentar di berita online, saya merasakan “spiral of silence" bekerja dan mengarah pada pembentukan kuasa. Tahun depan Pemilu akan berlangsung, dan itu artinya rezim penyokong FPI tak punya kuasa lagi. Saat kekuasaan mewakili “mayoritas diam”, maka pembalikan kebencian akan terjadi.

Sekarang mereka boleh menebar benci dan mengumbar anarki. Mengatasnamakan diri umat, berlindung sebagai “mayoritas”. Nanti ketika kuasa tak lagi menyokong mereka, mari kita lihat bersama bagaimana sejarah bekerja.

Semoga saja kelak kelompok-kelompok macam ini tak perlu muncul lagi. Tak dijadikan komoditas penguasa. Tak menggunakan agama sebagai pembenar tindakannya. Mari kita rawat kebebasan dengan menghargai perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika.

Melbourne, 30 Oktober, 2013



Senin, 28 Oktober 2013

Jokowi 2014: Titik Balik Republik

Jarang ada berita baik di Indonesia, terkecuali sekitar angka-angka pertumbuhan ekonomi yang beredar di antara 5,5 sampai 6 persen. Itupun perhitungan makro yang ditopang oleh konsumsi. Jumlah penduduk Indonesia dalam usia produktif (15-17 tahun) mencapai 49% tahun ini – 2013,  dan akan mencapai puncaknya pada tahun 2020. Apakah arti dari angka-angka ini, sedehana saja sebenarnya, bagian dari kekayaan Republik Indonesia yaitu sumber daya manusia. Besaran angkatan kerja menyimpan potensi daya beli yang jadi bahan bakar konsumsi penggerak pertumbuhan ekonomi. Inilah yang sesungguhnya menopang pertumbuhan ekonomi kita beberapa tahun terakhir, istilah kerennya bonus demografi. Sebagai gambaran, inilah yang akan kita bicarakan selanjutnya.

Santer terdengar kabar kalau negeri ini berjalan dengan autopilot, alias jalan sendiri. Memang benar adanya, ekonomi akan terus berjalan selama manusia masih butuh makan. Tentu saja penduduk Indonesia adalah bagian dari manusia yang butuh makan dan pada akhirnya menggerakkan ekonomi. Karena secara demografis banyak penduduk yang bekerja, maka angka ketergantungan rendah, dan terciptalah angka pertumbuhan yang indah. Angka yang seringkali di klaim oleh Presiden SBY untuk menunjukkan “keberhasilannya”. Memang angka itu benarlah adanya, tak perlu dipungkiri, tapi mari kita telisik.

Ada udang di balik bakwan, ada yang terselip di halaman pemberitaan. Semoga anda tak bosan dengan angka-angka berikutnya dan sanggup menyelesaikan tugas anda membaca artikel ini (harapan penulis J). Berikut saya sampaikan. Data BPS (2013), menunjukkan jumlah tenaga kerja dengan tingkat pendidikan sekolah dasar ke bawah mencapai 35,88 juta orang, tingkat kemiskinan 11,37% (per Maret 2013), dan tingkat pengangguran per Februari 2013 mencapai 7,17 juta orang atau 5,92% dari jumlah angkatan kerja di Indonesia yang mencapai 121,2 juta orang. Mengurai data berikut tentunya kita cuma bisa “prihatin”.

Sawah telah ditanami bata

Ada tiga kebutuhan dasar orang hidup, adalah sandang, pangan dan papan. Menyoal papan atau rumah tempat tinggal, BPS (2012) mencatat angka kekurangan jumlah rumah sebanyak 13,6 juta unit. Ini jadi  persoalan untuk warga Negara yang belum punya rumah, dan telah menjadi komoditas menarik untuk bisnis pengembang perumahan. Konsepnya sederhana saja, di mana persediaan kurang, permintaan tinggi, harga akan naik. Jangan heran kalau tiap akhir pekan pemirsa televisi dibombardir iklan produk properti dengan menawarkan kenaikan harga berlipat-lipat. Akibatnya adalah tanah dan perumahan jadi obyek spekulasi dengan bumbu investasi. Ada dampak langsung lain, perubahan guna lahan yang masif, mengubah lahan pertanian produktif, terutama di Pulau Jawa, menjadi pemukiman.

Kondisi yang makin parah terjadi di daerah lumbung padi sekitar Jakarta. Perubahan guna lahan dari sawah menjadi perumahan tercatat 135 hektar per tahun di Karawang, salah satu sentra penghasil beras terbesar di Indonesia. Tentu saja dari ini akan menyangkut ke persoalan perut, karena beras adalah bahan makanan pokok di Indonesia. Karena swasembada sudah tak pernah terjadi lagi sejak era Orba, dipilihlah jalan pintas, impor dari negara tetangga.

Bicara soal neraca ekspor impor nasional, singkat kata mengenaskan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hingga Juli 2013 defisit neraca perdagangan mencapai US$ 2,31 miliar. Dengan demikian, secara kumulatif dari Januari hingga Juli neraca perdagangan  defisit US$ 5,65 miliar. "Ini terbesar sepanjang sejarah," kata Kepala BPS Suryamin, seperti dikutip tempo.co (Kamis, 2 September 2013). Penyumbang defisit terbesar tentu saja adalah subsidi BBM, tapi menambahnya dengan mengimpor beras, seperti mempraktekkan pepatah lama: “seperti ayam mati di lumbung padi.”

Intinya adalah dari semua angka-angka tersebut, saya hanya mau bilang kalau Negara kita tercinta, Republik Indonesia kaya. Tapi seperti kata pak ustadz, harta dan kekayaan adalah sementara. Demikianlah juga berlaku untuk Indonesia. Bonus demografi tidak berlangsung selamanya, kalau-kalau salah urus bisa jadi pada saat piramidanya penduduk terbalik (angka usia produktif menua) beban negara semakin besar (dengan catatan, kalau negaranya masih ada). Kekayaan alam, sekarang sudah mulai habis, buktinya produksi minyak mentah kita terus menurun pada tahun 1996- produksi minyak mentah Indonesia tercatat 485,573.80 barel dan tahun 2011 turun hingga 289,899.00 barel. Kondisi inilah yang terjadi, karena produksi minyak tak sanggup mengimbangi besaran subsidi, harga BBM dinaikkan – data lengkap ada di sini .

Masihkah ada harapan?

Marilah berharap pada politik, dimana kita sebagai salah satu pemainnya. Sebagai warga negara yang punya hak suara, mari mengubah arah sejarah. Saya berpendapat Pemilu 2014 adalah titik balik harapan dari segala carut-marut yang ada, sekaligus sebaliknya bisa jadi awal dari akhir sejarah Republik tercinta. Kalau momentum ini terlewat, apa mau di kata, mari menunggu sembari berharap lagi tak punya penyanyi yang hobi jadi Presiden atau versi lain yang memikirkan perut sendiri, keluarga dan kroninya. Dongeng sesungguhnya mulai dari sini.

Korupsi adalah cerita lama yang selalu berulang, menjadi hits di semua orde yang pernah berkuasa di Indonesia sampai sekarang. Marilah mensyukuri reformasi, yang memberikan dua hal: kebebasan pers dan pilkada langsung. Kedua hal inilah yang menjadi secercah cahaya di tengah kegelapan.  Kebebasan pers ditopang dengan perkembangan teknologi informasi, membuat publik bisa membuka mata pada keadaan. Tak lagi disetir dengan kacamata kuda, walau media dimiliki konglomerasi, toh mereka pun saling bersaing, masyarakat jadi wasit. Pilkada langsung, walaupun banyak yang belum berhasil tapi sudah kita lihat hasilnya. Sebut saja, Jokowi (Gub. DKI), Tri Risma (Walikota Surabaya), Kholik Arif (Bupati Wonosobo), Amran Nur (Bupati Sawahlunto) dan nama-nama lainnya (untuk lebih lengkap bisa di baca di sini). Ini bukti bahwa dengan pilkada langsung, politik menghasilkan tokoh yang bisa menjadi harapan. Politik di Indonesia yang berbiaya tinggi, bisa ditekan lewat pilkada daerah yang relatif lebih murah dan terbukti sudah menghasilkan tokoh berkualitas. Muncul berbagai upaya untuk mengembalikan lagi pemilihan kepala daerah langsung kepada DPRD. Dalihnya, terlalu banyak konflik dan baru terselesaikan di MK (Mahkamah Konstitusi yang belakangan gonjang-ganjing karena ketuanya ditangkap KPK). Untuk soal ini hukumnya wajib dilawan, karena pelan-pelan, hasilnya sudah mulai terasa. Jangan lagi pimpinan daerah dengan mudah dikuasai kelompok-kelompok yang tak punya itikad baik untuk kemaslahatan bersama. 

Kita butuh pemimpin yang bekerja, bukan bergaya seakan-akan bekerja alias pencitraan. Untuk membedakannya mudah, pencitraan tak akan berkesinambungan. Kegagalan rezim pemerintahan SBY untuk terus popular adalah bukti nyata. Popularitasnya terus menurun, padahal sewaktu menjabat untuk periode ke 2, saat pilpres perolehan suaranya lebih dari 60 persen. Tentu saja ini karena hasil kerjanya tak bisa dilihat secara kasat mata, dalam dua periode dengan anggaran yang tentu, luar biasa besarnya. Klaim atas angka pertumbuhan ekonomi, tentu saja tak cukup untuk tameng. Karena tak ada hasil nyata yang terasa langsung dan kasat mata. Akan beda kalau saja, angka pertumbuhan disandingkan dengan ketersediaan pangan tercukupi dengan swasembada atau energi listrik tercukupi atau infrastruktur di luar Jawa membaik. Kalau salah satunya bisa berjalan saja, rakyat akan hormat dengan khidmat tanpa diminta. Di lapangan terjadi sebaliknya, Oktober 2013 ini krisis listrik melanda Sumatra dan Kalimantan, dua pulau yang kaya sumberdaya. Intoleransi juga merajalela mengancam kebhinekaan (padahal Presiden kita beroleh penghargaan dari luar negeri untuk toleransi). Apa yang dilakukan presiden? kembali berlindung pada angka-angka pertumbuhan sembari sibuk dengan partainya.

Pengalaman pahit ini tentunya harga mahal yang harus dibayar untuk memulai demokrasi, tapi mari kita cukupkan 10 tahun ini di 2014 nanti. Kita perlu pemimpin baru, yang sederhana, yang perkataannya sesuai dengan tindakannya. Kini, orang ramai menyebut Jokowi, Gubernur DKI, mantan walikota Solo. Ia baru setahun menjabat. Ia adalah kandidat kuat presiden pilihan rakyat. Hampir setiap hari media memberitakannya, dalam setahun masa jabatan bersama Wakilnya Basuki Cahaya Purnama (Ahok) perubahan tampak di Jakarta. Sungai dikeruk, waduk dibersihkan, PKL ditertibkan, tampak jelas apa yang dia kerjakan. Cerita lengkapnya anda bisa cari dengan mudah di media online Indonesia. Beberapa media internasional pun memberitakan sepak terjangnya dari Hindu Times, India; New York Times dan Guardian, AS; hingga The Economist, Inggris. Ia adalah kesayangan media, tapi ia juga bekerja.

Setiap lembaga survei menyertakan namanya, Ia selalu menjadi kandidat terkuat dipasangkan dengan siapa saja. Tentu saja banyak yang tak suka, terutama para tokoh tua yang ngebet jadi presiden. Sebagai pengamat komentar di kompas.com saya menengarai tiap ada berita yang mengangkat Jokowi, akan muncul komentator yang menyerangnya dengan dalih pencitraan. Komentatornya itu-itu saja, anda bisa mengeceknya sendiri. Walau demikian, dukungan orang banyak dengan akun unik lebih banyak. Di ranah media sosial seperti twitter juga banyak penyerangnya semenjak ia mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI. Pola serangannya yang frontal berkutat pada tema pencitraan, sedangkan yang lain mencoba mengarahkan opini bahwa ia seorang oportunis pengejar jabatan. Soal serangan langsung dari politisi yang berseberangan tentu kita akan bertemu nama-nama tenar, sejenis Ruhut Sitompul dkk.

Jokowi sendiri tak pernah menyatakan diri mencalonkan diri menjadi presiden. Mungkin dia menyiapkan dirinya menjadi presiden, tapi untuk ngebet jadi presiden saya rasa tidak. Kalau dia sekarang diinginkan menjadi presiden, saya rasa banyak yang akan menjawab iya. Kalau ditanya kenapa, sederhana saja, siapa lagi memangnya? Memang iya, ia baru menjabat sebagai Gubernur setahun. Banyak pula yang berpendapat kalau Jokowi sebaiknya selesaikan dulu satu periode baru nanti mencalonkan presiden tahun 2019. Kalau soal ini saya akan menjawab, memangnya pemilihan presiden itu seperti arisan, digilir sampai dapat. Belum pasti dicalonkan saja sudah banyak yang menjegal. Apalagi kalau orang lain yang terpilih jadi presiden, apa tidak ada usaha untuk terpilih lagi dan menjegal calon lawannya. Inilah yang saya sebut sebagai momentum, kini menjelang 2014, sosok Jokowi adalah titik equilibrium, di mana permintaan (harapan masyarakat) bertemu dengan ketersediaan.

Pencalonan Jokowi masih misteri, tapi dalam pandangan saya, momentum perubahan ada padanya. Karena momentum politik datangnya tak pasti, daripada rakyat Indonesia terus berharap pada ramalan Jayabaya akan datangnya ratu adil. Lebih baik kita membuka diri pada proses politik. Jokowi adalah contoh bahwa orang baik di politik bisa memberikan harapan untuk perubahan untukkebaikan. Harapan itu pupus bukan ketika orang culas memimpin, tapi saat orang baik tak mau tampil. Pada 2014, Republik masih kaya, bonus demografi masih bisa dikelola, kalau itu terlewat, entahlah. Sebagaimana bonus lainnya, hanya berlaku sebentar pada masa promosi saja. Selagi ada kesempatan, mari kita mulai dengan memilih presiden yang baik, supaya orang baik lainnya beroleh kesempatan berikutnya.

Sekian.
Melbourne, 28/10/2013

1928-2013, 85 tahun Sumpah Pemuda.

Kamis, 24 Oktober 2013

Bahasa Inggris Pak Beye dan Anaknya (dan Vicky, tentu saja)

Berada di negeri orang tak membuat saya kehilangan kebiasaan lama, membaca berita online dari Indonesia. Terima kasih kepada penemu internet, semoga ia selalu bahagia, karena dengan temuannya membagi kebahagian untuk dunia. Berita yang menjadi sasaran utama saya adalah yang paling banyak terkomentari, Kompas.com punya sub kanal untuk berita jenis ini. Tertanggal (23/10/13) peringkat pertama terkomentari judulnya “Presiden: Saya Korban Pers...”. Sudah sering muncul pernyataan macam ini dan berkali-kali menjadi berita nasional. Tapi bukan ini yang menarik perhatian saya. Pada paragraph terakhir ada sebuah kutipan terkenal dari Lord Acton yang dikutip oleh Pak Beye, demikian bunyinya “"Ingat Lord Acton, power tends to corrupt, power absolutely, absolutely corrupt (kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut, pasti korup),". Tampak keren dan intelek, tapi sayang kurang tepat. Para komentator mengkoreksinya demikian “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.” Mungkin pak Beye lagi sedih, karena jadi korban pers, atau karena terbiasa bermain kata dalam menulis lagu, ia berimprovisasi. 

Karena iseng dan internet kenceng, saya coba mencari pidato-pidato pak Beye di tautan http://www.presidenri.go.id. Ada lima pidato pada kesempatan yang berbeda, saya ambil tiga yang disampaikan bulan Oktober 2013 sebagai sampelnya. Di urutan teratas Pidato di acara APEC, jelas semuanya pakai bahasa inggris tapi tak ada campuran Bahasa Indonesianya. Berikutnya, Pidato HUT ke-68 TNI, ada Bahasa Inggrisnya doong, 1)… untuk mencapai tahapan kekuatan esensial minimun --minimum essential force. 2) negara-negara sahabat dalam kesatuan gabungan --combined forces-- di berbagai operasi pemeliharaan perdamaian dan Operasi Militer Selain Perang bertaraf internasional. Insya Allah, melalui Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian---Peace Keeping Center---di Sentul,. Ketiga, Sambutan Pertemuan Bisnis Indonesia-Tiongkok (Hotel Shangri-La, Jakarta, 7/3/13) coba tebaak… Yak, anda benar, ada sodara-sodara. Ini dia 1) Produk Domestik Bruto (PDB) Puschasing Power Parity Indonesia juga telah meningkat dari 645 miliar dolar AS pada tahun 2004, menjadi 1,2 triliun dolar AS.; 2) Yang Mulia bersama saya baru saja menghadiri Pertemuan Puncak G-20 di Rusia, yang juga mendiskusikan gejolak dan tekanan baru perekonomian global, utamanya yang dihadapi negara-negara emerging markets. Sedikit catatan, ada salah tulis di web resmi itu yakni “Puschasing” sepertinya bermaksud menulis purchasing. Salah ketik, semoga pak Beye tak salah pas membacanya.

 “Buah tak jatuh, jauh dari pohonnya”
Hobi berbahasa Inggris ini ternyata menurun ke anaknya tercinta, penerusnya kelak Mayor Agus Harimurti Yudhoyono. Sebagai prajurit TNI karirnya mengkilap, pendidikannya pun tak main-main. Lulusan Harvard dan NTU (Nanyang Tech. University, Singapore), terakhir muncul di berita terpilih jadi Alumni terbaik di NTU. Demikian biografi singkatnya. Kemarin sewaktu perhelatan APEC berlangsung di Bali, Mayor Agus memimpin delegasi perwira TNI untuk mengikuti acara CEO Summit. Tentu saja wartawan meliput, karena jarang terjadi Tentara aktif mengikuti acara para pimpinan perusahaan besar, kecuali jagain. Tapi ini beda, berikut penjelasan Mayor Agus, "Mereka perwira, tapi global picture apa yang terjadi ini mereka harus ngerti," katanya. Masih ada lanjutannya berikut ini  "Kita punya tujuan yang sama yaitu stability, peace and security di kawasan kita. Jangan sampai terjadi disturbance," Tentara punya misi ekonomi, menarik, berpikir melampaui dwifungsi ABRI jaman dulu malah. Tapi kalau boleh saya menyarankan ya, kembali ke barak saja, menjaga kedaulantan Republik. Kembali ke topik pada paragraf berikutnya.

Ada kemiripan antara keduanya kan, selain kemiripan fisik mungkin bahasa juga menurun secara genetik. Cara berbahasa keduanya mirip, menggunakan kata-kata dalam Bahasa Inggris untuk merangkai kalimat dalam Bahasa Indonesia. Jadi ingat sama seseorang kan, Vicky Prasetyo. Nama ini sempat menghebohkan saat wawancara di acara pertunangannya dengan penyanyi dangdut Zaskia Gotik di jadikan bahan guyonan seantero negeri. Pertunangannya yang dibatalkan karena Ia keburu ditangkap polisi karena kasus penipuan. Namun, gaya yang intelek dan bahasa inggrisnya yang menarik itu menjadi tren hingga banyak parodi menirunya di Youtube. Berikut saya kutipkan pidatonya saat mencalonkan diri menjadi Kades Karang Asih: My name is Hendrianto "I am froms the birthday in Karang Asih city/ I have to my mind/ my pride/ I’m have to my said/ I’m get to the good everything If wanna come to inpestor to my place America, Europe and everything Japanese and Asia /I’m ready for they are I wanna give to the fresh and glory to my people It is Indonesia satu karang asih yang maju cerdas dan berakidah" (videonya dapat ditonton di sini. Pusing kan bacanya, entah dia ngomong apa.

Dari ketiga tokoh tersebut kemiripannya jelas, selalu memakai kata-kata dari Bahasa Inggris saat tampil di khalayak. Tapi tentu ketiga tokoh tersebut beda kelas. Dari perbedaan kelas ini, bisa ditelisik, apakah penggunaan bahasa campuran yang demikian ini sebuah usaha untuk menaikkan kelas sosial. Supaya dianggap sebagai bagian dari kaum berkelas, cara berbahasa harus disesuaikan dengan mencampur bahasa Indonesia dan Inggris dalam satu rangkaian kalimat. Kemampuan berbahasa asing memang sudah jadi kebutuhan pokok, tapi mencampur aduk bahasa menurut saya tidak perlu. Jikalau masih ada padanannya dalam bahasa Indonesia saya rasa tak perlulah memakai kata dalam bahasa asing. Bahasa Indonesia juga sudah keren kalau pemakainnya tepat. Sekaligus untuk mengurangi kesalahan penggunaan, seperti kutipan Lord Acton yang diucap pak Beye, kalau di Indonesiakan sebenarnya enak juga: Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut pastilah korup. Tak perlu mikir tata bahasanya, karena memang Bahasa Indonesia adalah keseharian.

Bahasa Indonesia, dalam UUD 1945 pada pasal 36 disebutkan “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Alangkah baiknya kita budayakan karena Bahasa ini bahasa perjuangan, pemersatu bangsa. Mengutip Ben Anderson dalam bukunya Imagined Communities, pemersatu bangsa-bangsa di Indonesia ini sesungguhnya adalah bahasa Indonesia, karena Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan wilayah disatukan olehnya. Alangkah baiknya jika para pesohor, terlebih pejabat negara mencontohkannya.

Sekian.

Mesin Pencari