Kamis, 31 Juli 2008

Gerutuan Nasionalisme

Saya pernah bilang pada seorang teman tentang nasionalisme. Sederhana, " sebenarnya saya juga ingin menjadi nasionalis tapi sayang, saya tak pumya bakat jadi orang indonesia". Perkataan ini spontan,tapi setelah berpikir tentang ke-Indonesiaan mainstream (umum) dan dibandingkan dengan studi post-kolonial jadi tak lagi tampak sederhana. Bagaimana bisa muncul ke-Indonesiaan sedangkan dalam perjanjian internasional yang menjadikan Indonesia ada adalah legitimasi teritori bekas pendudukan Belanda. Artinya tanpa ada Belanda Indonesia tidak akan ada.

Pemikiran tentang Indonesia hingga berdirinya Indonesia sebagai sebuah negara tak pernah bisa lepas dari Belanda. Darimana rasa ke-Indonesiaan bisa lahir jika sebelumnya konfrontasi bersenjata yang selanjutnya disebut perjuangan kemerdekaan sejatinya tidaklah punya gambaran tentang Indonesia. Gambaran tentang negara, nasionalisme dan rasa kebangsaan diakui atau tidak diperoleh dari meng-copy pemikiran Belanda.

Nasionalisme Sukarno yang identik dengan Ernest Renan, mengandaikan bahwa bangsa Indonesia lahir karena kesamaan nasib tampaknya tak sepenuhnya benar. Pertanyaannya adalah apakah memang ada kesamaan nasib bagi orang-orang yang hidup selama Indonesia masih disebut sebagai Hindia Belanda. Tidak juga, ada yang sangat menderita karena menjalani kerja paksa, tetapi ada pula yang hidup berkelebihan sebagai pejabat maupun pengusaha, kemudian dimana kesamaan nasib sebagai yang "terjajahnya". Sebenarnya rasa kebangsaan merupakan produk massal pada jaman itu, tentang kesadaran atas identitas nasional yang mengafirmasikan kepentingan tiap orang untuk imaji "kesetaraan".

Melacak jejak nasionalisme mungkin kita tak bisa lepas dari Soewardi Soerjaningrat, yang menuliskan imajinya tentang ke-Indonesiaan dengan mengandaikan dirinya sebagai seorang Belanda (As Ijk Nederlander Was). Dengan mengandaikan sebagai seorang Belanda dia mereproduksi rasa kebangsaan Indonesia. Seorang Belanda harus memiliki rasa cinta pada Negerinya, dan mau berkorban untuk negerinya. Rasa tersebut memberikan identitas sebagai bangsa. Dengan mengandaikan adanya identitas Belanda yang bersumberkan dari keberadaan suatu negara. Maka Soewardi, mengandaikan adanya suatu negara yang akan menciptakan ruang bagi dirinya untuk berkebangsaan, bisa jadi ini adalah asal muasal nasionalisme. Imajinasi nasionalisme ini ternyata berkembang dan tak hanya dimiliki oleh Soewardi dan direproduksi kembali melalui wacana yang menciptaka imaji kolektif tentang rasa kebangsaan. Melalui koran, pamflet dan mungkin juga bincang-bindag di warung kopi. Meloncat ke saat ini, menurut saya, bangsa dan negara ini ada karena masih banyak orang yang berimajinasi tentang Indonesia. Secara de jure bisa dikatakan negara ini sudah tidak ada, terlalu banyak undang-undang yang menjadi fondasi berdirinya ditelikung dan diacuhkan. Mungkin demikian adanya, bagaimana menurut anda.

Senin, 28 Juli 2008

Peri-Urban dan Perebutan Ruang: Kasus Semarang Atas

Tumbuhnya permukiman dipinggiran kota merupakan suatu hal yang telah dipandang lazim dalam perkembangan kota. Perkembangan kota yang terjadi ke arah pinggiran disebut urban sprawl. Sedangkan daerah hasil perkembangan tersebut disebut sebagai daerah peri-urban atau sub urban. Kota Semarang juga mengalami pertumbuhan kota yang membentuk peri-urban. Dalam keseharian masyarakat Semarang dikenal pembagian Semarang Atas dan Semarang Bawah. Semarang Atas merupakan kawasan sub-urban dari Semarang Bawah. Perkembangan kawasan peri urban ini dimulai dari dibangunnya Perumnas Banyumanik. Kemudian perkembangan ini semakin pesat didorong oleh pembangunan kampus Undip di Tembalang. Pengaruh yang mendasari perkembangan ke arah pinggiran kota juga didorong oleh kondisi kota inti yang sudah padat dengan tingkat polusi tinggi dan mahalnya harga lahan.
Daldjoeni (1992) mengutip Whynne-Hammond, menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan peri-urban sebagai berikut:
1.Peningkatan pelayanan transportasi kota. Tersedianya angkutan umum memudahkan orang untuk bertempat tinggal jauh dari tempat kerjanya.
2.Perpindahan penduduk dari pusat kota ke pinggiran kota dan masuknya penduduk baru yang berasal dari perdesaan.
3.Meningkatnya taraf hidup masyarakat yang memungkinkan orang mendapatkan perumahan yang lebih layak.
4.Gerakan pendirian rumah oleh masyarakat. Pemerintah membantu masyarakat yang akan mendirikan rumah lewat pinjaman bank.
5.Dorongan hakikat manusia memperoleh kenyamanan.
Menjelaskan pertumbuhan suburban yang terjadi di Kota Semarang Atas, dampak faktor peningkatan transportasi bukan pada transportasi umum, namun lebih pada aksesibilitas transportasi terutama jalan. Untuk moda transportasinya ada pada kemudahan kepemilikan kendaraan pribadi. Sebagian besar penduduk sub-urban di Semarang Atas adalah commuter (penglaju), hal ini bisa dilihat dari banyaknya arus kendaraan saat jam berangkat dan pulang kerja. Akibatnya kemacetan yang dulunya hanya ada di pusat kota mulai muncul di daerah pinggiran.
Pada awalnya pertimbangan pembangunan perumahan (Perumnas Banyumanik) hanya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Selanjutnya dorongan hakikat manusia untuk memperoleh kenyamanan menjadi pendorong meningkatnya pembangunan perumahan di kawasan Semarang Atas. Meningkatnya aksesibilitas dengan adanya jalan tol menuju pusat kota membuat nilai ekonomi dari lahan di Semarang Atas semakin meningkat. Kenyamanan dan kemudahan akses menjadi senjata pengembang properti untuk berinvestasi di daerah ini. Selain itu, pendanaanan untuk pembangunan perumahan juga didukung oleh bank dalam kredit skala besar untuk pengembang dan KPR bagi masyarakat.

Permasalahan Segregasi Sosial di Suburban Semarang Atas
Walaupun perkembangan terjadi di daerah pinggiran, hal tersebut tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi penduduk lokal. Secara perhitungan ekonomi di atas kertas pertumbuhan kawasan pinggiran menghasilkan eksternalitas yang besar, tumbuhnya investasi membuka kesempatan kerja. Pertanian yang dahulu mendominasi daerah pinggiran kota dengan perputaran uang yang lambat digantikan oleh sektor perdagangan dan jasa yang mengalir cepat. Secara perhitungan ekonomi hal ini dapat dibenarkan. Namun dengan sudut pandang sosial, eksternalitas masalah baru yang ditimbulkan dari perkembangan sub urban ini bisa jadi lebih besar dibandingkan eksternalitas ekonominya.

In areas of our cities, where poverty and social diversity are concentrated, the sign of stressed are pervesive, in the routinisation of voilence, alternation and anger of crime and stigma. This reinforce exclusionary tendencies encouraging a defensife sense among “better of” labelling these stressed neighbourhoods as “outside”, not part of the “main stream” and “other”[...], to tendency for the more affivent and more favoured groups move to the neighbourhoods where other like them live, most notably in urban peryphery. [...]. The result is increasing social spatial segregation and metropolitan decentralisation (Soja, 1989; CEC, 1992c)

Peri-urban, dalam hal ini Semarang Atas (Banyumanik dan Tembalang) menjadi tempat “pelarian” penduduk yang menginginkan kenyamanan karena kondisi pusat kota yang menurun dan tak lagi aman. Perpindahan penduduk ke kawasan sub urban ini berjalan dengan cepat. Akibat awalnya muncul dikotomi antara penduduk asli dan pendatang. Kemudian, penduduk pendatanglah yang akhirnya mendominasi kawasan ini dengan jalan peralihan kepemilikan lahan. Penduduk asli yang sebelumnya bergantung pada pertanian dan berbudaya agraris terbawa dalam kondisi urbanized. Proses berikutnya adalah datangnya penduduk dari luar kota untuk bekerja, terutama di sektor informal di sekitar kawasan sub urban. Kawasan perumahan dan kampus menjadi pendukung utama berkembangnya sektor informal di kawasan sub urban Semarang Atas. Usaha sektor informal sebagian besar didominasi oleh makanan yang dijual di kaki lima.
Perubahan budaya yang cepat tidak sanggup diikuti oleh penduduk asli. Lahan pertanian sebagai aset penduduk asli telah terjual, hasilnya hanya diperuntukkan untuk kegiatan konsumtif. Sedangkan yang masih mempertahankan tanahnya untuk pertanian semakin terdesak oleh lahan terbangun. Penduduk asli tampaknya tidak siap dengan perubahan ini. Budaya agraris yang melatarbelakangi kebiasaan ekonomi menjadikan mereka tidak sanggup mengimbangi kecepatan perputaran ekonomi akibat perubahan yang terjadi. Aset lahan yang terjual tidak digunakan secara produktif, hanya untuk kebutuhan konsumsi. Sedangkan tanah yang terjual telah menjadi perumahan dan tempat usaha bagi penduduk pendatang. Rumah kos, ruko-ruko dan warung kaki lima adalah tempat usaha yang tumbuh dari perubahan di kawasan ini. Eksternalitas ekonomi yang muncul tidak dinikmati oleh penduduk asli.
Munculnya perumahan-perumahan baru di kawasan ini semakin memperjelas kondisi segregasi secara spasial, dimulai dari konversi lahan pertanian menjadi perumahan. Dalam satu perumahan sendiri, terbagi dalam zona-zona berdasarkan tipe rumah, dan kompleks perumahan merupakan entitas tertutup, ditandai dengan adanya pagar dan gerbang pintu masuk dan keluar. Secara spasial perumahan-perumahan ini merupakan bagian yang terpisah dari lingkungan di luar batas-batasnya. Rancangan perumahan semacam ini didasarkan pada pandangan bahwa keamanan dan kenyamanan penghuninya dapat diperoleh dengan cara ini. Jarak sosial yang dimanifestasikan dalam ruang spasial tercipta dari rancangan perumahan yang tertutup semacam ini. Selain itu, perumahan-perumahan yang dibangun memiliki segmentasi pasar yang berbeda, namun sebagian besar ditujukan pada kelas menengah keatas. Jadi dapat dikatakan bahwa penghuni perumahan adalah orang-orang yang mapan secara ekonomi. Segregasi semacam ini semakin menciptakan kesenjangan yang terjadi. Kenyamanan hanya akan dimiliki oleh penghuni perumahan, sedangkan di luarnya sudah ditemui permasalahan yang sama dengan kota inti. Hal ini berarti bahwa akibat dari perkembangan kawasan sub urban, permasalahan perkotaan yang berupa kesenjangan telah meluas ke daerah pinggiran. Penduduk asli hanya menjadi penonton perkembangan sekaligus korban dari permasalahan yang terjadi, tanpa diberikan jalan keluar.


Permasalahan Lingkungan Akibat tumbuhnya Suburban Semarang Atas
Terkonversinya lahan pertanian menjadi lahan terbangun secara langsung berakibat pada lingkungan. Pengaruh langsung yang dapat dirasakan adalah meningkatnya arus transportasi yang mengikuti perubahan aktivitas penduduk. Ketergantungan pada kendaraan pribadi mengakibatkan kapasitas jalan tidak lagi sebanding dengan jumlah kendaraan. Kemacetan seringkali terjadi pada jam-jam sibuk terutama pada simpul-simpul jalan menuju pusat kota. Kasus yang terjadi di suburban Semarang Atas yaitu adanya bangkitan transportasi dua arah, yakni dari Semarang Atas menuju pusat kota dan sebaliknya. Arus pergerakan ke bawah didominasi oleh penduduk suburban yang bekerja di pusat kota dan arus ke atas didominasi oleh mahasiswa yang belajar di Kampus Tembalang. Pertemuan dua arus ini pada jam sibuk terlihat pada simpul-simpul Jl. Setiabudi - Jl. Prof Soedarto dan Pasar Jatingaleh. Polusi udara adalah akibat langsung dari penggunaan kendaraan pribadi yang semakin meningkat.
Pada kawasan suburban Semarang Atas sendiri (Banyumanik dan Tembalang), pembangunan perumahan dan sarana komersial seringkali tidak sebanding dengan infrastruktur pendukung, terutama infrastruktur jalan. Terlihat bahwa kapasitas jalan terutama Jl. Prof Soedarto tidak lagi sebanding dengan jumlah kendaraan. Jalan sekaligus dimanfaatkan juga sebagai lahan parkir. Ditambah lagi dipertemuan antara Jl. Prof Soedarto dengan Jl. Setiabudi digunakan untuk pangkalan angkot liar yang menambah kesemarawutan. Angkot yang mangkal di lokasi tersebut melayani jalur Ngesrep menuju Undip Tembalang, menyalahi trayek yang seharusnya menuju Gedawang.
Bagian lain dari jalan yakni sempadan dimanfaatkan oleh PKL sebagai tempat berjualan sebagian besar telah ditutup perkerasan. Bahkan saluran drainase yang sudah ada menjadi tidak berfungsi karena ditutup dengan beton, dengan tujuan memperluas tempat berjualan. Jalan yang tidak lagi memiliki kelengkapan berupa sempadan dan drainase, akibatnya sering muncul genangan setelah hujan. Kerusakan jalan terus terjadi pada musim hujan, terutama di jalan yang tergenang air.
Walaupun permasalahan demi permasalahan terus berkembang, konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun terus berjalan. Saat ini masih berjalan proyek pengurukan sawah di daerah Tembalang Selatan untuk perumahan Graha Estetika. Pengurukan ini merupakan bagian dari proyek pembangunan tahap II perumahan Graha Estetika yang dimulai sejak tahun 2006. Proyek ini sempat mengalami masalah karena belum ada ijin AMDAL-nya saat dimulai (Suara Merdeka, 18/10/2008). Tampaknya permasalahan izin tersebut sudah selesai karena pengurukan telah berjalan kembali hingga saat ini. Namun, berbagai permasalahan yang ditimbulkan oleh pengurukan tersebut tidak pernah diperhatikan, dua ruas jalan (Jl. Mulawarman dan Jl. Durian Raya) yang menjadi jalur pengiriman tanah uruk mengalami kerusakan karena tidak sanggup menanggung beban muatan truk. Selain itu, sawah lain yang tidak menjadi bagian dari proyek pengurukan tergenang air. Genangan ini muncul karena saluran air tertutup oleh pengurukan. Sawah yang tergenang tersebut tidak lagi bisa ditanami.
Kepemilikan lahan sawah yang diuruk tersebut terbagi menjadi 4 yakni: PT Dasa Wilis (Pengembang Graha Estetika), Dinas Pertanian, Eks Bengkok Kelurahan Bulusan dan Kramas. Petani menggarap lahan tersebut dengan membayar imbalan kepada pemilik. Mereka yang menggarap lahan milik PT Dasa Wilis Raya, membayar sejumlah uang yang diistilahkan sebagai uang bantuan pajak. Besarnya tergantung luasan lahan dan hasil panen. Sementara, petani yang menggarap lahan milik Dinas Pertanian, menggunakan sistem maro. Namun, pihak Dinas memberi bantuan bibit dan pestisida (www.matabumi.com/news/minggu,23/03/2008). Karena sawah tergenang, petani tidak lagi bisa memperoleh penghasilan. Sawah yang biasanya menghasilkan panen dua kali setahun, tidak lagi bisa ditanami. Sangat mungkin jika lahan sawah yang tersisa tersebut akan menjadi korban konversi selanjutnya karena sudah tidak bisa lagi ditanami dan telah terkepung lahan terbangun. Petani yang merupakan penduduk asli semakin terpinggirkan. Perkembangan yang sebagian orang kira sebagai kemajuan pembangunan ternyata mengorbankan sebagian manusia, dalam hal ini penduduk asli.
Ternyata bukan hanya manusia yang menjadi korban perkembangan di sub urban Semarang Atas. Konversi lahan juga merusak ekosistem hewan, salah satunya adalah burung kuntul. Pepohonan di sepanjang Jalan Setiabudi yang dulunya ramai dihinggapi burung kuntul yang kini kian sedikit. Padahal, burung kuntul tersebut telah menjadi bagian dari identitas Kota Semarang Atas.
Menurut laporan Suara Merdeka (7/11/2007), populasi burung kuntul yang ada di Jl. Setiabudi menyusut. Pada akhir tahun 1990-an jumlahnya mencapai 1.000 ekor, kini yang bertahan di tempat itu tinggal 200-an ekor. Dalam laporan tersebut, Dosen Jurusan Biologi Undip, Karyadi Baskoro SSi, MSi. menjelaskan bahwa berkurangnya populasi burung kuntul di Srondol itu akibat maraknya alih fungsi lahan di Kota Semarang. Sawah, tambak, rawa, dan kawasan pesisir yang menjadi tempat mereka mencari makanan, banyak didirikan bangunan. Akibatnya, unggas sejenis bangau berbulu putih itu memilih tinggal di tempat lain yang lebih dekat dengan sumber makanan. Menurut pengamatan Karyadi, burung-burung tersebut kini pindah ke daerah Sayung, Demak.Perlu diketahui, makanan burung kuntul adalah ikan, binatang laut, siput, katak, dan ular. Di tempat barunya makanan mereka mudah untuk ditemukan. Ini menolak anggapan bahwa hilangnya burung kuntul tersebut diakibatkan meningkatnya kebisingan, karena burung ini tidak peka terhadap suara.
Burung kuntul yang terdapat di pepohonan sepanjang Jalan Setiabudi Srondol adalah empat dari enam jenis burung kuntul yang ada di dunia (Kompas, 04/6/2004). Yaitu, kuntul besar (Egretta alba), kuntul perak (Egretta intermedia), kuntul kecil (Egretta garzetta), dan kuntul kerbau (Bubulcus ibis). Dari keempat jenis itu, kuntul besar paling banyak jumlahnya. Dahulu di pepohonan sepanjang jalan banyak kuntul yang bertengger, kini hanya terpusat pohon asam jawa di depan gerbang Banteng Raider. Sangat disayangkan jika burung kuntul ini menghilang dari pepohonan di sepanjang jalan Setiabudi Srondol. Namun, kecenderungan konversi lahan yang terjadi di kawasan Tembalang dan Banyumanik makin mempersempit tempat hidup burung-burung ini.


Kesimpulan
Pertumbuhan sub urban Kota Semarang Atas (Banyumanik dan Tembalang) menunjukkan bahwa perkembangan kota ke arah pinggiran mengakibatkan beberapa permasalahan utama:
1.Tersisihnya penduduk asli yang telah kehilangan lahan pertanian sekaligus mata pencahariannya.
2.Meningkatnya kesenjangan sosial yang tampak dari adanya segregasi spasial dari pemisahan permukiman berdasarkan kelas ekonomi.
3.Degradasi lingkungan yang mengancam keberadaan identitas kota (burung kuntul) di sepanjang jalan Setiabudi.
4.Kemampuan infrastruktur perkotaan (Transportasi umum, Jalan dan Drainase) yang tidak bisa mengikuti laju perkembangan.
Perkembangan sub urban Semarang atas menunjukkan bahwa permasalahan perkotaan telah meluas. Degradasi lingkungan di kawasan ini mengakibatkan rasa nyaman untuk tinggal hanya diperoleh di perumahan-perumahan elit. Sedangkan di luarnya, kenyamanan tersebut tidak lagi dapat diperoleh.
Pertumbuhan di kawasan sub urban memang memberikan keuntungan yang besar secara ekonomi. Perkembangan yang dimotori sektor properti akan menggerakkan sektor riil yang memutar roda perekonomian. Namun, kemampuan adaptasi dari penduduk asli seharusnya juga mendapatkan perhatian dari otoritas, dalam hal ini pemerintah kota.
Rencana Tata Ruang (RDTRK Kota Semarang 2000-2010) memang telah menetapkan wilayah Tembalang dan Banyumanik sebagai daeah pengembangan Permukiman. Berbagai persyaratan rencana pengembangan telah ada di dalamya, termasuk dalam hal pengendalian lingkungan. Namun, Perda hanya menjadi aturan normatif yang tidak dijalankan. Kondisi di lapangan lebih memperlihatkan bahwa perkembangan wilayah ini lebih dikendalikan oleh pasar. Padahal, sistem ekonomi pasar selalu mereduksi nilai ruang hanya berdasarkan pada nilai nominalnya.
Jika dibiarkan tanpa adanya intervensi dari pemerintah kota selaku pemegang kewenangan, bukan tidak mungkin jika perkembangan ini akan memperluas permasalahan perkotaan yang mungkin tidak akan pernah terselesaikan. Intervensi awal yang mungkin bisa dilakukan adalah merevisi rencana tata ruang yang ada. Namun, revisi rencana tata ruang yang terjadi selama ini hanya dilakukan untuk kepentingan proyek, misalnya dalam kasus Banyumanik dan Tembalang ialah pembangunan tol Semarang-Solo. Mungkin benar yang dikatakan oleh Jean Hillier jika land use planning (perencanaan) hanyalah allegory of prudence. Peranan otoritas kekuasaanlah yang paling berperan disaat partisipasi dalam pembangunan tidak terjadi.


Bacaan

Bappeda Kota Semarang. RDTRK Kota Semarang 2000-2010.
Daljoeni, N. 1999. Geografi Baru. Alumni: Bandung.
Empat dari Enam Kuntul di Dunia Ada di Srondol Kompas. Senin, 14 Juni 2004. Available at : www.kompas.com. Diakses pada tanggal 9 April 2008.
Graha Estetika : Nyaman Huniannya, Tinggi Nilai Investasinya Kompas.Jumat, 28 Desember 2007. Available at : www.kompas.com. Diakses pada tanggal 9 April 2008.
Healey, Patsy et all (ed). 1997. Managing City: The New Urban Context. John Wiley & Sons, Inc: New York.
Hillier, Jean. 2002. Shadow of Power: An Allegory of Prudence in Land Use Planning. Routledge: London
Lahan Diuruk, Sawah Tergenang. Edisi Minggu, 23 Maret 2008. Available at : www.matabumi.com . Diakses pada tanggal 9 April 2008.
Nurmadi, Ahmad. 1999. Manajemen Perkotaan: Aktor, organisasi dan pengelolaan daerah perkotaan di Indonesia. Lingkaran: Yogyakarta.
Paddison, Ronan (ed). 2001. Handbook of Urban Studies. SAGE Publication Ltd: London.
Palen, J John. 1995. The Suburbs. Mc Graw Hill Inc: New York.
Pengurukan Belum Mengantongi Amdal. Suara Merdeka Edisi Rabu, 18 Oktober 2006. Available at : www.suaramerdeka.com. Diakses pada tanggal 9 April 2008.
Populasi Kuntul Kian Menyusut. Suara Merdeka Edisi Rabu, 07 Nopember 2007. Available at : www.suaramerdeka.com. Diakses pada tanggal 9 April 2008.

Mesin Pencari