Kamis, 23 Januari 2014

Surat Untuk Walter Mitty

Walter Mitty yang budiman,


Menonton film tentang Anda, saya mengira akan menyaksikan film sejenis “Charlie and The Chocolate Factory”.   Ternyata saya salah kira, dan bersyukur karenanya. Film anda dapat dikategorikan sejenis dengan “Forrest Gump”—jenis film yang layak ditonton lebih dari sekali.

Tempat kerja Anda, majalah “LIFE”, mengingatkan saya pada edisi 13 Februari  1950, yang cerita utamanya mengenai Indonesia, tanah air saya. Kebetulan foto-foto di situ dipotret fotografer handal   kesukaan saya, Henri Cartier-Bresson. Berikut saya cuplikkan sampulnya. 


Dari sinilah saya merasa dekat dengan Anda, Bung Walter. Bagaimana hubungan anda dengan Sean O’ Connel si fotografer,  akhir-akhir ini? Petualangan Anda untuk melacaknya sungguh  perjalanan yang menarik.

Kalau boleh sedikit berpendapat tentang lamunan Anda, sepertinya itu terjadi karena Anda kurang piknik. Kematian Ayah Mitty muda yang berambut mohawk dan jagoan skate board, jadi menanggung beban keluarga. Mimpi siang bolong adalah pelarian Anda dari dunia di sela kerja. Anda menjadi pelamun sampai akhirnya “LIFE” cetakan terakhir membangunkan Anda. Ternyata, ada hikmah di balik akuisisi “LIFE” yang akan diubah jadi versi online. “Klise” (negatif foto) calon sampul edisi akhir majalah yang hilang , memaksa Anda meninggalkan khayalan untuk berpetualang.

Tentu, dedikasi pada kerja dan cinta sebagai penyemangat tak bisa disepelekan dari petualangan Anda. Cuplikan lagu “Ground control to Major Tom..”, yang Anda bayangkan dilantunkan oleh rekan kerja yang Anda taksir diam-diam, Cheryl Melhoff, melecut keberanian untuk naik heli yang dipiloti orang mabuk dan melompat ke kapal di tengah badai. (Belakangan saya tahu kalau lagu tersebut dari David Bowie yang judulnya “Space Oddity”). Berkendara di jalanan Islandia dengan skate board. Mendaki Himalaya bersama dua Sherpa. Berakhir jadi sampul majalah “LIFE” edisi cetak pamungkas. Lintasan antara lamunan dan petualangan yang tak terduga. 

Apa yang sering Anda khayalkan justru menjadi penyemangat untuk beraksi dalam kenyataan. Satu hal yang mengganjal hanyalah soal pie jeruk bikinan Ibunda, yang konon sampai bisa meluluhkan hati warlord Afganistan yang garang. Kenapa Ibunda tak berjualan kue supaya beban keluarga pascakematian Ayah tak dipikul sendirian oleh Anda, yang ketika itu masih terlalu belia? Kalau saja demikian, mungkin Anda bisa lebih menikmati masa muda.

Terakhir, saya tak beranjak dari kursi bioskop sampai credit title film selesai ditayangkan. Saya terperangah menyaksikan foto-foto dari film Anda. Kalau boleh saya tanya, siapakah fotografernya? Saya sudah mengubek-ubek Google, tapi tak berhasil menemukan nama yang bersangkutan. Jika bertemu lagi, tolong sampaikan, saya salut dengan hasil kerjanya.

Demikian surat ini saya sampaikan. Empat kali empat sama dengan enam belas, sempat tidak sempat harus dibalas.

Jakarta yang lembab karena hujan, 23 Januari 2014


Tidak ada komentar:

Mesin Pencari