Senin, 03 Desember 2007

Pahlawan
Oleh: Aulia Latif

Hari pahlawan yang diperingati besok, 10 November gencar diinformasikan Departemen Sosial lewat iklan TV, kurang afdol jika tidak ada rasan-rasannya. Masyarakat diminta untuk mengheningkan cipta tepat pukul 8.15. Saya bertanya pada diri sendiri, sebenarnya apa makna dari pengheningan cipta? Jawabannya sebenarnya mudah diperoleh, standar, untuk mengenang jasa-jasa pahlawan yang memerdekakan dan menjaga Indonesia tetap ada. Pemaknaan pahlawan pun menjadi problem yang mengganggu di kepala saya, lebih dari masalah ketombe iklan shampo. Menurut saya, dengan penilaian bodhon (jawa-red), pahlawan di benak sebagian besar masyarakat Indonesia kategorinya adalah orang yang membawa senjata dalam suasana peperangan, entah itu bambu runcing hingga senapan mesin. Semuanya biasanya digambarkan dengan wajah penuh keberanian atau kebencian (menurut saya sih ekspresi semangat menghancurkannya sangat terasa), coba anda lihat di patung-patung atau mural yang ada di gerbang gapura masuk kampung. Tampilan heroik dengan senjata dan wajah garang dan background pertempuran, sepertinya sudah mewakili citra kepahlawanan.
Namun, masih banyak problem yang menyelimuti mitos kepahlawanan. Sejarah yang ditulis buku-buku pelajaran dinegeri ini banyak bercerita tentang kisah kepahlawanan. Dari yang sejak zaman melawan VOC hingga melawan tirani Soeharto. Pahlawan-pahlawan zaman VOC diwakili oleh tokoh-tokoh perlawanan dari berbagai propinsi Indonesia sejak dari Aceh tapi tidak sampai Papua. Cobalah baca dengan lebih sabar dan ingat-ingat bahwa Papua (Irian Barat waktu itu-red) baru termasuk wilayah Indonesia pada tahun 60an, setelah adanya Dwikora yang dikobarkan Soekarno. Jadinya wajar jika tidak ada pahlawan Papua zaman dulu. Pahlawan yang terbaru adalah pahlawan Reformasi, anggotanya para Mahasiswa Trisakti yang meninggal ditembaki aparat saat peristiwa Mei’98. Ada juga pahlawan lama tapi gaungnya makin jarang didengungkan, siapa itu? Jawabannya adalah guru ‘pahlawan tanpa tanda jasa.” Hingga saat ini prestasi terbaik yang diperoleh dari kategori pahlawan ini adalah lagu yang judulnya sama dengan kategorinya, dinyanyikan tiap hari pendidikan, lumayanlah dari pada tidak ada.
Sepertinya butuh sedikit tempat berpijak untuk melangkah pada kalimat berikutnya dengan literatur. Saya memilih film Flags of Our Fathers, yang menceritakan tentang foto penancapan bendera Amerika di Iwo Jima, suatu pulau yang terletak di Laut Pasifik saat perang dunia ke-2. Publikasi dari penancapan bendera ini sangat berpengaruh bagi kampanye penggalangan dana perang dari penduduk Amerika. Walaupun sebenarnya penancapan bendera yang fotonya menjadi sangat legendaris ini merupakan penancapan yang kedua, bendera yang pertama diminta oleh seorang jenderal sebagai kenang-kenangan. Karena yang difoto adalah penancapan kedua, maka para pelakunyalah yang kemudian dijadikan pahlawan, padahal pada saat foto itu diambil Iwo Jima belum diambilalih, masih dalam peperangan. Ingat, pemenang perang bukan yang sesungguhnya menang namun yang mengumumkan kemenangan atas perang. Tentara yang ikut serta dalam penancapan bendera ini kemudian di blow up habis-habisan menjadi pahlawan perang, diberi penghargaan dan dibawa keliling seluruh negara bagian oleh departemen keuangan Amerika untuk selanjutnya menjadi sales dana perang. Mereka yang menjadi “pahlawan” ini merasa sangat bersalah pada kawan-kawan seperjuangannya yang tidak pernah mendapat sebutan pahlawan seperti mereka. Monumennya saat ini masih bisa diihat di Washington. Cerita dalam film ini menelanjangi kemunafikan pembuatan ikon klasik yang disebut hero dalam bahasa Inggris dan pahlawan dalam bahasa Indonesia. Pembuatan ikon “pahlawan” ini tidak lepas dari tujuan kepentingan kekuasaan.
Kembali ke asal, Indonesia. Semoga pembaca sepakat dengan generalisasi saya ini, sebagai pembanding kisah di film yang telah saya ceriterakan sebelumnya, bahwa pahlawan selalu identik dengan tentara termasuk di negeri ini. Sebagai contoh yang paling mudah, penamaan jalan-jalan protokol di negeri didominasi oleh nama-nama tentara. Betapa tidak, carilah kota besar yang tidak memiliki Jalan Sudirman, kalaupun itu terlalu terkenal carilah jalan dengan nama tentara-tentara lain, pastilah lebih banyak dari yang bukan tentara. Sedikit meminjam teori Foucault (baca fuko-red) tentang relasi kuasa, hal ini akan sangat terkait dengan besarnya pengaruh tentara di negeri ini, pada saat jalan-jalan tersebut dinamai. Tentu hal ini terjadi pada masa pemerintahan Soeharto yang mahsyur dengan ide stabilitasnya yang menggadang-gadang tentara dengan Dwi Fungsi ABRI (pada saat itu). Soeharto sendiri pada saat menjadi presiden belumlah lepas dari ketentaraan –ia adalah seorang Jenderal bintang empat- , dan proses naiknya beliau sebagai presiden masih penuh kontroversi (supersemar sampai saat ini tidak diketahi keberadaannya). Meminjam sedikit pemikiran Foucault lagi tentang kekuasaan dan pendisiplinan, yang dilakukan Soeharto untuk melegitimasi dan melanggengkan hegemoninya adalah dengan menciptakan citra tentara yang hebat tiada bandingannya. Salah satu contohnya, film-film yang dibuat saat orde baru macam Serangan Umum 1 Maret dan G30 S PKI, memrogram opini penduduk Indonesia tentang hebatnya Soeharto dan yang tidak boleh ketinggalan hebatnya tentara. Belum lagi buku sejarah yang dipakai untuk pelajaran anak SD hingga SMA. Bahkan tinggalannya ini pun hingga kini masih sangat diyakini oleh hampir seluruh penduduk Indonesia, bahwa pemimpin yang baik itu berasal dari tentara, juga betapa para jendral masih begitu dominan dalam lingkaran elit politik. Arus utama opini yang terbangun dari alam bawah sadar bahwa tentara berkorelasi positif dengan pahlawan tertancap kuat. Relasi kuasa dan usaha pendisiplinan subjek terjadi tanpa ada resitensi memadai. Sebagai argumentasi saya menawarkan beberapa bukti, sudahkah guru yang juga memiliki emblem pahlawan memiliki tempat di hati penduduk Indonesia dibandingkan dengan tentara. Tanyakan kepada calon-calon bintara hingga taruna apakah alasan mereka masuk tentara, saya yakin lebih dari 90 persennya menyebut bahwa mereka ingin membantu negeri ini (asumsi ini saya ambil karena pernah menyaksikan wawancara tentang hal terkait di sebuah tv swasta). Relevankah dengan kenyataan, negeri ini butuh banyak tentara? Bukankah lebih membantu negeri ini jika mereka mau menjadi guru di daerah pedalaman. Tetap di dunia kita yang makin kapitalis ini duit tetap menjadi pertimbangan utama. Menjadi tentara apalagi perwira akan menjamin kesejahteran perekonomian yang memadai. Namun akan menjadi lebih utama jika perekonomian yang terjamin ditambah kemahsyuran dengan menjadi bagian dari ikon kepahlawanan yang diakui masyarakat.
Kepahlawanan yang dibangun sebagai simbol ternyata berhubungan dengan berbagai kepentingan. Dari yang biasa disebut mulia, sebagai contoh pemberian gelar pahlawan kemerdekaan RI untuk tokoh perlawanan di berbagai wilayah yang selanjutnya menjadi bagian dari Indonesia untuk keterwakilan yang menimbulkan perasaan kesatuan; kemudian penciptaan ikon “pahlawan revolusi” dari tentara untuk legitimasi perebutan kekuasan tahun ’65 saat Soeharto merebut kekuasaannya hingga dapat mempertahankan hegemoninya selama 32 tahun; Pengakomodasian peran guru dengan pemberian ikon “pahlawan tanpa tanda jasa”; hingga “pahlawan reformasi” bagi mahasiswa korban ’98. Simbolisasi pahlawan ini ternyata sangat kaya akan makna, pesan yang terbaca dengan kuat adalah bentuk pemonumenan sebuah kepentingan sebagai sarana afirmatif komunikasi untuk membangun diskursus yang menjadi kebutuhan dalam kerangka relasi kuasa. Gampangannya dijadikan tetenger alias landmark bagi suatu kepentingan untuk kekuasaan dengan cara yang halus dan simpatik. Ternyata kata pahlawan ini begitu bermakna bukan? Dan, mungkin makna pembacaannya akan terus berubah selayaknya sebuah teks. Selamat hari pahlawan bagi mereka yang merayakannya.

NB: Tulisan ini dibuat tanggal 9 nov 2007, semalam sebelum diperingatinya AHri Pahlawan. Diposting tanggal 3 Des 2007

Dekonstruksi Identitas Muslim

Dekonstruksi Identitas Muslim
Oleh: Aulia Latif

Apa yang kita kenal dengan konsep mengenai identitas? Mungkin lebih khusus, apa yang anda jawab apabila ditanya siapakah anda? Saya yakin, sebagian besar dari kita akan menjawab dengan menyebutkan nama. Apakah itu sudah menjawab apa yang disebut dengan identitas? Pertanyaan-pertanyaan ini akan selalu membayangi manusia sepanjang hidupnya, entah disadari atau tidak. Jelasnya, identitas selalu berubah sifatnya tidak mutlak sepanjang waktu. Sedikit pencerahan mungkin akan kita peroleh jika membaca tentang strukturalisme, yang akan saya pakai disini adalah konsepnya mengenai oposisi binernya yang nantinya akan kita bahas dengan pembacaan dekonstruktif. Terkait dengan tema yang akan dibahas tentang muslim sebagai identitas, pertama-tama harus dipahami bahwa siapapun yang menyebut dirinya muslim adalah orang yang beragama Islam. Dan, identitas muslim ini menjadi muncul karena ada orang yang beragama lain. Identitas adalah bentuk dari penandaan yang diperoleh dari konsep dengan pembandingan dengan yang lain (the other, dalam literatur berbahasa Indonesia sering dipakai kata liyan-pen).
Dengan kata lain, secara ekstrem (bagi sebagian besar orang yang mengidentifikasikan diri sebagai muslim, tapi biasa saja dalam kerangka strukturalis)- identitas muslim dikenal karena ada yang bukan muslim sebagai liyan. Apa yang akan terjadi apabila semua orang dimuka bumi beragama Islam, apakah identitas muslim dapat dipertahankan? Tentunya menjadi buyar seluruh konsepsi identitas muslim. Selanjutnya implikasi dari disadarinya hal ini adalah memikirkan kembali mengenai pandangan pluralistik, keberagaman dan toleransi pada yang lain/ liyan. Mengapa demikian, karena jika tak ada yang lain, identitas yang kita peroleh akan hilang bersama keseragaman. Pandangan mengenai yang lain sebagai musuh abadi perlu diubah, betapapun besarnya rasa tidak suka terhadapnya- liyanlah yang menunjukkan identitas kita.
Semua manusia pernah dilahirkan, dari proses membuka mata hingga memakai bahasa. Prosesnya dilalui dibantu dengan yang lain, misalnya diberikan nama oleh orangtua (berlaku sebagai liyan), hingga diperkenalkan dengan agama. Betapa lemahnya kita tanpa ada yang lain (liyan) sebagai tonggak penandaan. Manusia akan terombang ambing tanpa identitas.
Identitas muslim yang dikenal tidaklah berakhir, hanya sampai pada orang beragama Islam. Selanjutnya ada konsep identitas muslim sejati yang dikenal dengan insan kamil. Definisi dari insan kamil sendiri pun beragam, pendekatan terakhir yang cukup fenomenal adalah yang dilakukan oleh Muhammad Iqbal, filsuf muslim dari Pakistan yang nge-trend dengan bukunya “Reconstruction of Religious Thought in Islam”. Secara lebih konkret dicontohkan oleh Rasullullah, namun keautentikannya tidak dapat kita saksikan karena hidup dizaman yang berbeda. Iqbal menyatakan bahwa insan kamil adalah co-creator Tuhan atau bahasa klasiknya khalifatul fil ardhi. Saya menggunakan Iqbal sebagai contoh karena rasanya sedikit lebih mengerti dibandingkan dengan konsep pemikir lain. Disini saya tidak akan mengotak-atik definisi dari kategorisasi dari definisi insan kamil, tetapi implikasinya secara praktis. Membacanya memberikan saya gambaran mengenai Tuhan yang menciptakan perbedaan seharusnya manusia juga mengafirmasi perbedaan yang ada. Jadi identitas insan kamil dalam persepsi saya bukan lagi menjadi identitas sebagai yang berbeda dari lainnya, tapi bagaimana me-manage perbedaan menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.
Sebagai tulisan singkat beritupun kesimpulannya, singkat saja, mulai dari konsep identitas (muslim) hingga idealisme identitas (insan kamil) dapat dibaca dengan menangkap identitas muslim dari yang lain dan mengimplementasikannya sebagai pembawa kebahagian bagi yang lain. Bukan sebagai yang benar memusuhi yang salah. Dalam persepsi saya, Rasulullah mencontohkan demikian. Mungkin saja pengkafiran diantara sesama orang beragama Islam (baca: masih meyakini Tauhid secara utuh -rukun islam-pen) yang sedang mewabah saat ini dibutuhkan dalam rangka memperkuat identitas muslim yang “paling benar”.

NB : Tulisan yang singkat ini sangatlah jauh dari bagus dan seterusnya akan terbuka bagi kritik.Semoga bermanfaat....

Sebuah Diskusi tentang Al Ghazali dan Ibn Rusyd

Commencons par l'immpossible (mari kita mulai dengan yang tak-mungkin)

Terima kasih atas pembuka diskursusnya bung syafran...
Aku bakal coba membahasnya dengan perspektif postmodernisme (posmo).Awen sudah kasih pembukanya secaa singkat, aku bakal coba menjelaskan sebisaku, semoga memuaskan. Walaupun diskusinya bakalan panjang, tapi kujamin tidak bakalan membosankan.

Untuk mempersingkatnya aku bakal langsung pada permasalahan bahwa Al Ghazali didukung oleh rezim yang berkuasa pada masa itu. Meminjam pemikiran foucault mengenai relasi kekuasan dan Derrida mengenai "the other", ilmu (dalam hal ini pengetahuan tentang ketuhanan) erat kaitannya dengan relasinya dengan kekuasaan. Selanjutnya merujuk pada kedekatan Al Ghazali dengan rezim penguasa saat itu mengakibatkan ketimpangan secara politis. Dengan demikian posisi Ibn Rusyd menjadi inferior. Singkatnya ilmu pengetahuan adalah kekuasaan, demikian juga sebaliknya dan selanjutnya kekuasaan itulah yang menentukan kebenaran.

Pengkafiran atau sejenisnya atau sesat maupun istilah menyimpang adalah bentuk ekstrem dari pendisiplinan yang dilakukan untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan (dengan klaim atas "pengetahuan"). Seperti yang telah dikatakan oleh Awen, bahwa kekuasaan berkonotasi netral (bisa +/-) atau bisa merusak atau malah membangun. Kembali pada permasalahan, pada masa Al Ghazali dan Ibn Rusyd, kemungkinan yang dapat dianalogikan merusak sekaligus membangun adalah rezim yang berkuasa memandang dengan merujuk pada pemikiran Al Ghazali adalah stabilitas politik akan lebih mudah dijaga sehingga pembangunan umat lebih mudah untuk dilakukan, disisi lain dengan merujuk pada pemikiran yang sama kekuasaan yang dipegang rezim akan lebih terjaga dari kritik oposan, karena umat akan cenderung kehilangan daya kritis yang diperoleh dari intelektualitas yang ditawarkan Ibn Rusyd (klo contoh ini kurang jelas tolong berikan kritik, nanti akan aku pelajari lagi dan perbaiki tulisan ini).

Dengan perspektif Derridean, kita dapat melihat bahwa apa yang dilakukan Al Ghazali adalah berusaha untuk menstabilkan makna dengan melakukan kekerasan (violence) pada pemikiran Ibn Rusyd, sebutan kafir merepresentasikan hal tersebut. The other nya disini adalah Ibn Rusyd, jadi terbentuk identitas antara yang lurus dengan kafir. Sedikit teorinya adalah identitas (tanda/ sign) dibentuk dengan melakukan oposisi biner, misalnya laki2-perempuan, tuhan-mahluk, baik-buruk, bersih-kotor dll- dengan membaca Jaques Lacan atau Ferdinand de Saussure mungkin akan menjadi semakin jelas. Jadi posisinya, Ibn Rusyd berlaku menjadi pihak yang resisten. Dalam perspektif posmo, hidup adalah permasalahan hegemoni dan resistensi seperti apa yang terjadi pada 2 tokoh besar islam tersebut. Maka apa yang dicita2kan manusia dengan perspektif modern yang mengandaikan ada kebenaran mutlak didunia adalah ilusi. Mungkin banyak yang tidak menyadari posisinya berlaku sebagai pihak yang menghegomoni dan melakukan kekerasan, demikian juga yang terepresi dan melakukan resistensi.

Positioning menjadi penting dalam kondisi ini, dalam artian untuk bertoleransi pada the other. Aku saat ini lebih berpihak pada Ibn Rusyd, tapi bukan berati pemikiran Al Ghazali menjadi diabaikan, semuanya sama2 penting. Tapi kita harus berpendirian, intinya adalah positioning bukan memaksakan apa yang kita yakini. Kebenaran, Tuhan, Keadilan itu ada tapi kita tidak dapat pernah menggapainya didunia ini. Ibarat horizon yang ada, tapi selalu menjauh saat kita mendatanginya. Saat ini apapun yang kita anut masih dalam kerangka bahasa, yang maknanya sangat tidak stabil (bisa dikendalikan oleh relasi kuasa), maka kita hanya bisa memperoleh jejaknya (trace)... Tiada Tuhan selain Tuhan itu sendiri...Jangan ada klaim pada kebenaran sejati yang mutlak, karena dengan adanya kekuasaan Tuhan yang (katanya) didelegasikan pada manusia yang akan terjadi adalah kematian kemanusiaan...

Semoga bisa mencerahkan, tulisan ini sangat terbuka pada kritik...

adieu

Antara Tuhan dan Warna Ke-daifan manusia yang dilupakan

Tentang Tuhan dan Empirisme yang tak Terkonsepsikan

Antara Tuhan dan Warna

Ke-daifan manusia yang dilupakan

Oleh: Aulia Latif


Ada atau tidak adanya Tuhan menjadi kontroversi bagi manusia, telah melahirkan berbagai konstruksi konsepsi argumen yang keduanya, sama-sama hebat. Bahkan bagi sesama manusia yang meyakini adanya tuhan sekalipun, dalam bingkai keyakinan yang berbeda sekalipun, konsepsi tentang tuhan terbangun dengan apik dan rapi. Agama adalah konstruksi konsep tentang tuhan yang memberikan argumen dengan teks-teks suci yang katanya-“tak terbantahkan”- sangat jelas, walau tak seorangpun pernah melihatnya.

Melihat berarti memaknai yang terlihat dengan panca indera, yakni mata. Setelah melihat manusia dapat mengkonstruksikan apa yang dilihatnya. Memakai pemahaman empirik, melihat, maupun kegiatan mencecap kenyataan dengan panca indera akan memperoleh hal yang disebut realistis. Atau dalam bahasa awamnya nyata. Yang terlihat atau yang tercecap oleh panca indera lainnya adalah yang “nyata”. Diluar hal itu tidak ada yang nyata, berarti konsepsi tentang tuhan pun akan dibantah empirisme karena tak dapat dicecap panca indera. Empirisme ini kemudian melahirkan pahan positivistik yang mengagungkan sesuatu yang dianggap logis dan universal karena dapat dirasakan dan dibuktikan oleh manusia dimanapun.

Tapi, ada yang dilupakan oleh keduanya. Dari yang terlihat, yang nyata dan tak pernah terusik oleh konsepsi manusia. Saya akan mulai berargumen mengenai Tuhan dan Warna. Tuhan adalah sesuatu yang jauh dari jangkauan manusia tapi dapat dikonstruksikan secara rapi, baik yang merasa harus membelanya maupun harus melawannya. Bandingkan dengan warna, dapat dilihat dan jelas-jelas ada dalam keseharian manusia, baik yang mengakui tuhan maupun tidak. Kemudian permasalahannya adalah dapatkah warna dikonsepsikan manusia sebaik Tuhan? Boleh jadi jika keyakinan tentang Tuhan selalu menyertai kita walau tak terlihat maka dapat dikonsepsikan. Bukankah warna juga menyertai kita dan seharusnya konsepsinya dapat dikonstruksikan sebaik, bahkan lebih baik dari tuhan yang tak pernah kita lihat. Tidak akan menjadi masalah jika penjelasan konsepsi tentang warna disampaikan pada manusia yang dapat menggunakan indera penglihatannya, selanjutnya bagaimana dengan orang buta (sejak lahir) dapatkah dia memaknai warna yang dikonsepsikan dalam bahasa. Akan berbeda dengan tuhan yang dikonsepsikan dalam bahasa disampaikan pada orang buta, ia akan lebih mudah menerima dan bisa memaknainya. Penjelasan tentang warna akan berada diseputar benda yang memiliki warna yang dikonsepsikan. Semisal warna hijau adalah warna daun, warna biru adalah warna langit dan berbagai pertautan dengan benda yang harus “dilihat” untuk memaknainya. Sejauh ini saya belum menemukan pemaknaan konsepsi warna yang lebih jelas dibandingkan dengan konsepsi tentang tuhan. Untuk itu saya akan mengutip penjelasan dari kamus1 tentang tuhan dan warna (saya akan memperjelasnya dengan memberikan contoh warna merah):

  • Tuhan: sesuatu yang diyakini, dipuja, disembah oleh manusia sebagai yang maha kuasa, maha perkasa dsb...

  • Warna : Kesan yang diperoleh mata dari cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang dikenainya; corak rupa seperti biru dan hijau...

  • Merah: warna dasar yang serupa dengan warna darah

Dalam persepsi saya akan lebih mudah untuk mengkonsepsikan makna tuhan dan menyampaikannya kepada orang buta, dibandingkan dengan melakukan hal serupa dengan warna. Tuhan akan lebih mudah untuk disampaikan karena setelah diyakini konsekwensi lain akan datang beriringan untuk memperkuat konstruksi tentangnya. Tidak demikian dengan warna yang mensyaratkan harus dilihat pada benda sebelum dimaknai. Ironisnya makna dari warna tak bisa sejelas tuhan yang memiliki dukungan argumen dengan banyak kutipan dari kitab-kitab suci maupun teks-teks pendukung lain.

Saya meyakini, sebenarnya semua manusia yang berbahasa adalah buta terhadap yang nyata, hanya dapat meraba dan mereka-reka. Realitas yang dimaknai adalah bentuk imajiner dan simbolik yang terekam dalam bahasa. Apa yang ditunjukkan ketika memaknai warna sangatlah bergantung pada penglihatan yang sangat nyata, namun tak dapat dijelaskan dalam konsepsi utuh konstruksi bahasa. Tuhan yang tak dapat dilihat, dapat terjelaskan dengan lebih terperinci. Bukankah seharusnya sebaliknya yang terjadi. Bukankah manusia adalah daif2 (lemah). Memaknai tuhan dengan “sempurna”, tapi tak pernah bisa memaknai keseharian warna.


1 Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, 1993. Balai Pustaka

2 Kata ini seringkali digunakan oleh Gunawan Mohammad

Mesin Pencari