Kamis, 21 Agustus 2014

Melbourne: Kota Layak Huni

Melbourne, kota terbesar kedua di Australia. Tempat di mana saya tinggal dalam setahun terakhir. Kemarin vivanews memberitakan Melbourne menempati peringkat teratas sebagai kota yang paling layak ditinggali. Fasilitas umum yang lengkap, transportasi publik memadai dan tingkat kriminalitas rendah. Dengan predikat demikian benarkah Melbourne adalah kota yang sempurna.


Kehidupan di Melbourne menurut saya memang lebih teratur, kalau dibandingkan dengan kota-kota di Indonesia. Pembedanya ada pada penegakan hukum dan kesadaran warganya. Pengendara sepeda di sini pun wajib melengkapi diri dengan helm dan lampu. Di jalan pengendara sepeda diprioritaskan melintas jalan tanpa traffic light, pengendara mobil pun otomatis memberi jalan. Walau kadang ada pengendara nakal, hampir seluruhnya taat aturan. Demikian halnya dengan tram yang berbagi jalur dengan mobil, mendapat prioritas dalam menggunakan jalan.




Kopi dan musik adalah dua hal penting di Melbourne. Bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari kota ini. Warung kopi hampir selalu ada di seluruh sudut kota. Untuk musik, kota ini penuh musisi berbakat yang biasanya bermain di kafe-kafe kecil di seantero kota. Karena saya tinggal di Brunswick, kafe di sekitaran Sidney Road adalah yang terdekat untuk dikunjungi.



Kalau anda meyakini kota adalah pusat peradaban, tentu perpustakaan, museum dan galeri wajib ada. Semuanya lengkap di Melbourne. Perpustakaan di Melbourne tersedia lengkap, bukan sekedar memajang buku, mereka juga mengadakan even-even khusus secara rutin. Victoria National Library adalah perpustakaan terbesar yang ada di pusat kota (photo). Selain itu di tingkat kelurahan pun punya perpustakaan seperti di daerah saya Brunswick (photo). Tak heran kalau warga di sini punya tingkat literasi tinggi. Museum juga tak seperti gudang barang kuno, di sini museum bisa diakses gratis untuk pelajar. Koleksinya juga tak sekedar dipajang, ada catatannya dan di beberapa koleksi tersedia gimmick interaktif dengan pengunjung. Museum menjadi tempat belajar menyenangkan bagi anak-anak. National Gallery of Victoria (NGV), salah satu tempat favorit saya di sini. Koleksinya luar biasa, anda bisa menyaksikan lukisan Picasso, Monet, Manet, sampai yang kontemporer dan banyak lainnya, gratis. Ada pula yang berbayar jika ada eksebisi, mendatangkan koleksi dari Galeri lain di venue khusus. Untuk melihat seluruh koleksi di NGV anda butuh waktu seharian. Perpustakaan, Museum dan Galeri adalah tiga serangkai yang membuat Melbourne layak di sebut sebagai Kota yang berbudaya.




Kota layak huni tentu punya ruang publik memadai dan Melbourne menunjukkannya. Taman-taman tersebar di seantero kota dan dilengkapi taman bermain anak. Kota ini juga ramah terhadap anak. Beberapa ruang publik yang terkenal di sini adalah Princess Park, Yarra Southbank dan Federation Square. Dua terakhir terletak berdekatan dan berada di pusat kota dekat dengan ikon Melbourne, Flinders Station.


Melbourne juga mempertahankan keseimbangan ekologinya. Burung-burung dari berbagai spesies bisa ditemui dengan mudah di sini. Mereka dengan bebas berkeliaran tanpa gangguan. Demikian juga dengan habitat air, sungai-sungai di Melbourne seluruhnya terjaga. Bahkan untuk memancing di sini kita perlu membeli lisensi juga memperhatikan batasan pengambilan ikan.





Melbourne bisa jadi model bagaimana sebuah kota bekerja. Namun tak ada kota tanpa masalah. Pengangguran dan gelandangan menjadi salah satu masalah yang tampak di kota ini. Selain itu, walaupun nyaman tinggal di Melbourne relatif mahal, bahkan untuk transportasi publiknya. Seperti pepatah, tak ada gading yang tak retak.


Minggu, 06 April 2014

Pemilu di Melbourne

Kemarin, 5 April 2014 warga negara Indonesia di Melbourne memberikan hak pilihnya di pemilu legislatif. Pemilih di luar negeri hanya memilih calon legislator dari Daerah Pemilihan II DKI Jakarta.
Berikut saya tampilkan suasananya dalam gambar.

 Suasana saat pencoblosan di Konsulat Jendral RI yang beralamat di 72 Queens Road Melbourne Victoria 3004.
Panitia Pemilihan bersiap di TPS 
 Antri memberikan suara sembari bersosialisasi
 Surat Suara
Seorang yang telah menentukan pilihannya


Semoga tahun 2014 ini akan ada perubahan lebih baik untuk RI, legislator yang jujur dan memperjuangkan kepentingan rakyat.

Jumat, 04 April 2014

Fasisme dan New born something…


“Fasis yang baik adalah fasis yang mati” (Homicide).

Kalau anda suka music hiphop indie, mungkin pernah dengar nama Homicide rapper dari Bandung. Mengenang masa kuliah sarjana dulu, saya jadi ingat petikan lirik lagu itu -judulnya “Puritan”. Definisi bebas dari fasisme kurang lebih seperti ini: gerakan radikal dengan basis ideologi politik otoriter bertujuan untuk mengatur nilai, sistem politik dan ekonomi suatu bangsa menurut perspektifnya.

Menyoal fasisme, tentu yang paling fenomenal dan terkenal adalah Nazi Jerman dengan tokohnya Adolf Hitler. Jutaan manusia dibantai di Eropa karena ide soal pemurnian ras Arya yang diikuti pengikutnya dengan takzim.  Contoh fasis lain ada juga di Eropa, sebut Musollini di Italia atau Jepang semasa Perang Dunia II dengan jargon menjadi saudara tua bangsa-bangsa Asia. Demikian pula Soviet semasa dipimpin Stalin. Era Nazi, Musollini, Stalin sudah lewat, tapi apakah fasisme juga hilang. Ternyata tidak. Tren fasisme lama menjangkiti ideologi Negara, yang terbaru menjangkiti agama. Kalau negara terbatasi wilayah dan bangsa, bagaimana kalau ini menjangkit pada agama. Potensi daya rusaknya pada kemanusiaan tentu tak kalah dahsyat.

Taliban di Afganistan dan Pakistan adalah fasis berbasis ideologi agama yang menempuh jalur kekerasan. Soal korban terbarunya yang paling fenomenal adalah Malala Yousafzai yang ditembak kepalanya karena dianggap melawan dengan menuliskan pemikirannya tentang pendidikan untuk perempuan diblog. Usai ditembak ia dirawat di Inggris dan meneruskan pendidikannya di sana sembari menjadi ikon perlawanan terhadap Taliban. Taliban adalah contoh ekstrem, masih ada yang lain sebutlah: Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Mereka tak seradikal Taliban, tapi soal ke-fasis-an, tak kalah fasih.

Lalu apa hubungannya dengan New born something… di Indonesia.

Kalau anda pernah jadi mahasiswa baru, tentu tahu betapa agresifnya rohis menggaet anggota. Siapa di belakang rohis ini, pilihannya hanya 2: kalau bukan HTI berarti PKS (lewat KAMMI sayap politiknya di mahasiswa). Sasaran utamanya adalah kampus-kampus negeri yang bukan UIN (Universitas Islam Negeri). Mengapa demikian? Karena mahasiswa baru di kampus-kampus tersebut lebih mudah diajak dalam kegiatan “keagamaan” karena rata-rata dari mereka adalah jebolan sekolah sekuler. UIN secara tradisional menjadi tujuan anak-anak dengan basis pendidikan keagamaan (Madrasah Aliyah/Pesantren). Sebagai mahasiswa baru, pencarian identitas adalah soal penting. Agama adalah salah satu jalan penemuan identitas yang banyak terlewat semasa sekolah. Sebagai contoh, berapa banyak perempuan beragama islam yang kemudian berjilbab saat kuliah. Ini jadi peluang rekruitmen, lewat jalan mengenalkan kembali agama “yang benar” pada mahasiswa baru.

Eureka, kata Archimedes usai menemukan hukum kesetimbangan volume. Eureka berarti “aku menemukannya”, sebuah ungkapan atas pencerahan pemikiran. Sebentuk euforia. Inilah yang jadi kekuatan dalam kaderisasi fasis  agama di kampus-kampus. Melalui doktrin mereka mengubah pandangan awam menjadi seorang penemu yang tercerahkan. Ini yang saya katakan sebagai new born… Dan, semua new born… rata-rata merasa sudah mempunyai kebenaran sejati atas apa yang baru ditemukannya. Seperti keluar dari zaman kegelapan menuju kesempurnaan. Felix Siaw boleh jadi adalah contoh yang ideal. Ia yang sebelumnya mualaf tionghoa, kini menjadi salah satu marketing utama HTI di Indonesia. Ini kasus untuk new born moslem, pada kasus lain pada agama dan ideologi apapun gejalanya sama.

Di alam demokrasi, semua orang bebas punya ideologi atau pemikiran apapun. Namun ada ironi di sini, soal fasisme. Mereka anti demokrasi, namun mereka hanya bisa hidup dan berkembang di negara demokrasi. Hizbut Tahrir berpusat di Inggris dan punya cabang di Indonesia. PKS sebagai cabang dari Ikhwanul Muslimin Mesir, menjadi partai politik di Indonesia. Seperti fasis pada umumnya mereka selalu membawa isu kesamaan, dalam fasisme agama tentu yang ingin dibangun adalah imaji kejayaan di masa lampau tentang kejayaan khilafah. Walau mereka berada di Indonesia, isu yang terus menerus menjadi bahan bakar utamanya adalah Palestina. Mudah sekali kita menemukan bendera Palestina saat berdemo sebagai atributnya, baik dikibarkan atau menempel dipakaianya. Bukannya abai terhadap persoalan Palestina, jelas ada pelanggaran hak asasi manusia di sana. Ada kejahatan kemanusiaan, tak bisa kita pungkiri. Namun, isu yang mereka angkat bukan itu, tetapi “umat Islam yang di bantai”dan “Islam dilecehkan”. Walau mereka di Indonesia, jarang sekali mereka rajin mengangkat isu soal pendidikan, kemiskinan atau lapangan pekerjaan yang tentunya juga permasalahan umat Islam. Terang kalau, fasisme selalu  memanfaatkan kondisi psikologis seperti : frustasi, kemarahan dan perasaan tak aman. Untuk fasisme agama tentu jawaban untuk keresahan-keresahan ini adalah doktrin kelompok mereka dengan ornamen agama yang sempurna.

Persoalan maraknya kelompok fasis ini adalah disintegrasi. Dengan memanfaatkan frase “Umat Islam” mereka menjadi teror (minimal psikis) untuk kelompok-kelompok minoritas. Mereka menginginkan kesamaan yang selain mereka adalah salah, dan seringkali disebut musuh.
Kalau fasisme model ini menjangkiti anak-anak muda kuliahan secara masif mungkin tak lama lagi Indonesia akan berubah nama Indonistan mungkin. Menengok sejarah, Islam tak masuk ke nusantara dengan prasangka kebencian. Pendekatan kultural agama menjadi obat yang manjur melawan laju radikalisasi fasis jenis ini.


(Melbourne, 4/4/2014)

Kamis, 23 Januari 2014

Surat Untuk Walter Mitty

Walter Mitty yang budiman,


Menonton film tentang Anda, saya mengira akan menyaksikan film sejenis “Charlie and The Chocolate Factory”.   Ternyata saya salah kira, dan bersyukur karenanya. Film anda dapat dikategorikan sejenis dengan “Forrest Gump”—jenis film yang layak ditonton lebih dari sekali.

Tempat kerja Anda, majalah “LIFE”, mengingatkan saya pada edisi 13 Februari  1950, yang cerita utamanya mengenai Indonesia, tanah air saya. Kebetulan foto-foto di situ dipotret fotografer handal   kesukaan saya, Henri Cartier-Bresson. Berikut saya cuplikkan sampulnya. 


Dari sinilah saya merasa dekat dengan Anda, Bung Walter. Bagaimana hubungan anda dengan Sean O’ Connel si fotografer,  akhir-akhir ini? Petualangan Anda untuk melacaknya sungguh  perjalanan yang menarik.

Kalau boleh sedikit berpendapat tentang lamunan Anda, sepertinya itu terjadi karena Anda kurang piknik. Kematian Ayah Mitty muda yang berambut mohawk dan jagoan skate board, jadi menanggung beban keluarga. Mimpi siang bolong adalah pelarian Anda dari dunia di sela kerja. Anda menjadi pelamun sampai akhirnya “LIFE” cetakan terakhir membangunkan Anda. Ternyata, ada hikmah di balik akuisisi “LIFE” yang akan diubah jadi versi online. “Klise” (negatif foto) calon sampul edisi akhir majalah yang hilang , memaksa Anda meninggalkan khayalan untuk berpetualang.

Tentu, dedikasi pada kerja dan cinta sebagai penyemangat tak bisa disepelekan dari petualangan Anda. Cuplikan lagu “Ground control to Major Tom..”, yang Anda bayangkan dilantunkan oleh rekan kerja yang Anda taksir diam-diam, Cheryl Melhoff, melecut keberanian untuk naik heli yang dipiloti orang mabuk dan melompat ke kapal di tengah badai. (Belakangan saya tahu kalau lagu tersebut dari David Bowie yang judulnya “Space Oddity”). Berkendara di jalanan Islandia dengan skate board. Mendaki Himalaya bersama dua Sherpa. Berakhir jadi sampul majalah “LIFE” edisi cetak pamungkas. Lintasan antara lamunan dan petualangan yang tak terduga. 

Apa yang sering Anda khayalkan justru menjadi penyemangat untuk beraksi dalam kenyataan. Satu hal yang mengganjal hanyalah soal pie jeruk bikinan Ibunda, yang konon sampai bisa meluluhkan hati warlord Afganistan yang garang. Kenapa Ibunda tak berjualan kue supaya beban keluarga pascakematian Ayah tak dipikul sendirian oleh Anda, yang ketika itu masih terlalu belia? Kalau saja demikian, mungkin Anda bisa lebih menikmati masa muda.

Terakhir, saya tak beranjak dari kursi bioskop sampai credit title film selesai ditayangkan. Saya terperangah menyaksikan foto-foto dari film Anda. Kalau boleh saya tanya, siapakah fotografernya? Saya sudah mengubek-ubek Google, tapi tak berhasil menemukan nama yang bersangkutan. Jika bertemu lagi, tolong sampaikan, saya salut dengan hasil kerjanya.

Demikian surat ini saya sampaikan. Empat kali empat sama dengan enam belas, sempat tidak sempat harus dibalas.

Jakarta yang lembab karena hujan, 23 Januari 2014


Mesin Pencari