Jumat, 19 November 2010

The Road Not Taken by Robert Frost



Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;
Then took the other, as just as fair,
And having perhaps the better claim,
Because it was grassy and wanted wear;
Though as for that the passing there
Had worn them really about the same,
And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black.
Oh, I kept the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way,
I doubted if I should ever come back.
I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I-
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.

i carry your heart with me by E. E. Cummings


i carry your heart with me(i carry it in
my heart)i am never without it(anywhere
i go you go,my dear; and whatever is done
by only me is your doing,my darling)
i fear
no fate(for you are my fate,my sweet)i want
no world(for beautiful you are my world,my true)
and it's you are whatever a moon has always meant
and whatever a sun will always sing is you

here is the deepest secret nobody knows
(here is the root of the root and the bud of the bud
and the sky of the sky of a tree called life;which grows
higher than the soul can hope or mind can hide)
and this is the wonder that's keeping the stars apart

i carry your heart(i carry it in my heart)

Senin, 08 November 2010

Kota Sebagai Ruang (yang) Hidup

A great city is that which has the greatest men and women (Walt Whitman, 1819 - 1892).

Kutipan diatas bukan berasal dari seorang ahli tata ruang, tapi seorang penyair berkebangsaan Amerika yang hidup dua abad lampau. Bisa ditafsirkan dalam Bahasa Indonesia: Kota yang hebat adalah kota dengan laki-laki dan perempuannya yang hebat pula. Mungkin ia hendak mengingatkan bahwa kota adalah representasi dari manusia yang tinggal dan beraktivitas di dalamnya.

Kota merupakan buah dari peradaban manusia. Proses perkembangan peradaban manusia dari masa berburu-meramu, bercocoktanam hingga perdagangan dan jasa terekam dalam pertumbuhan suatu kota. Edward Soja seorang urbanist (demikian sebutan yang dia buat untuk mendefinisikan orang yang mempelajari kota), mengatakan “putting the space first”, letakkan ruang diurutan pertama. Jika bicara tentang kota, artinya ruanglah yang akan dibicarakan. Namun apakah ruang itu?

Terminologi ruang objektif-subjektif, yang material dan yang mental biasa dipakai untuk analisis ruang tidak lagi relevan. Pandangan oposisional inilah yang seringkali digunakan dalam penataan ruang kota. Ruang material diandaikan dalam mental dan diwujudkan dalam tata ruang. Soja menawarkan pemikiran baru yaitu “lived space” yakni ruang yang hidup, dimana ruang secara historis, temporal bahkan biografis hidup pada masing-masing para pelakunya. Ruang yang dialami dan memberikan pengalaman (lived space).

Penataan Ruang Kota

Penataan ruang kini menjadi isu hangat dan menjadi perhatian publik. Karena ia terkait dengan kepentingan publik. Ia mengatur aspek-aspek yang langsung bersentuhan dengan kehidupan warga kota, terutama pada persoalan zoning kawasan, sarana dan prasarana perkotaaan. Selama ini praktek perencanaan di kota-kota Indonesia dilaksanakan secara sepihak, dari sudut pandang pemerintah kota. Sebagai contoh adalah tata ruang kota Jakarta yang kini dikritik oleh koalisi jakarta 2030 karena dinilai mengesampingkan publik.

Proses perencanaan cenderung dilaksanakan sepihak oleh pemerintah dan hasilnya adalah perda tata ruang yang seringkali gagal diterapkan. Kegagalan ini berawal dari kegagalan pemerintah sebagai pemrakarsa penataan ruang memahami ruang yang multidimensional. Ruang material lah yang diperhitungkan, tanpa melakukan analisa sosial yang historis maupun kultural. Penataan ruang cenderung memakai pemahaman ruang yang ada di kepala para pejabat berwenang dan para ahli sebagai teknisi. Pemahaman ruang hanya ditafsirkan di ranah teknis. Nilai sosial dan historis ruang diabaikan karena tata ruang yang teknis hanya berorientasi pada masa depan. Namun, perlu diingat bahwa ruang kota adalah ruang yang hidup, karena diisi manusia yang berkehidupan (beraktivitas).

Zoning tata ruang adalah simplifikasi ruang yang luar biasa deterministik. Proses penetapannya hanya melihat ruang material. Padahal di dalamnya terdapat sejarah dan kehidupan yang sedang atau telah berlangsung. Maka tak heran jika dalam penerapannya, zoning seringkali gagal menafsirkan ruang yang coba ditata dalam rencana dan berakibat konflik. Sebagai contoh adalah penggusuran Cina Benteng di Tangerang. Jejak historis Cina Benteng yang sejak tahun 1700 sudah hidup dan bermukim tak dijadikan pertimbangan dalam praktek penataan ruang. Pemerintah Kota Tangerang yang menetapkan kawasan pemukiman Cina Benteng sebagai kawasan hijau lantas main gusur. Jelas masalah ini tidak akan selesai walaupun penggusuran sukses terlaksana. Faktor historis dan kultural inilah yang seringkali diabaikan.

Perencanaan Partisipatif

Perencanaan bisa jadi adalah model ideal yang mengemuka. Perlu diketahui sebelumnya bahwa partisipasi adalah tugas pemerintah, maksudnya: pemerintahlah yang seharusnya memberikan peluang partisipasi untuk masyarakat dalam tata ruang. Selama ini sosialisasi sudah dianggap sebagai partisipasi masyarakat. Tentunya ini tak cukup, mengingat sosialisasi hanyalah pemaparan program yang sudah selesai disusun. Partisipasi yang diharapkan adalah kesadaran masyarakat untuk turut serta dalam proses dan kontrol penataan ruang.

Hambatan utama dalam pelibatan masyarakat (partisipasi) dalam perencanaan tata ruang adalah penetapan tata ruang sebagai proyek berjangka waktu terbatas. Tata ruang disusun dalam satu tahun anggaran dengan jangka waktu yang relatif singkat. Untuk menyelesaikannya secara teknis pun pasti kesulitan. Apalagi jika melibatkan masyarakat, berapa panjang masa waktu pengerjaannya. Selain itu, proyek tata ruang ini ditangani oleh pihak ketiga (konsultan) yang tentunya akan sangat bergantung pada pemberi proyek untuk supervisi pengerjaannya. Partisipasi menjadi sulit terlaksana dalam kondisi demikian.

Selain itu, partisipasi membutuhkan masyarakat yang memahami konteks tata ruang. Faktor inilah yang menjadi alasan untuk mentidakmungkinkan perencanaan partisipatif dilaksanakan. Sebagai solusinya pemerintah melibatkan para ahli, yang dianggap mampu menganalisa ruang untuk ditata. Sekali lagi karena ruang itu hidup, tidak mungkin ahli dengan sudut pandang pengetahuannya bisa menerjemahkannya lebih baik dari yang hidup dan menghidupi ruang tersebut (baca: masyarakat).

Gerakan Perlawanan

Seiring dengan terbukanya kran demokratisasi dan kesadaran masyarakat mengorganisasikan diri, gerakan kepedulian pada tata ruang mulai tumbuh berkembang. Dominasi pemerintah dengan dukungan ahli mulai tergeser dengan gerakan ini. Tata ruang sebagai produk politik yang menyentuh kepentingan publik secara langsung mulai menjadi perhatian publik. Gerakan kepedulian pada tata ruang (contoh: Koalisi Jakarta 2030) adalah sebuah bukti bahwa ruang kota itu hidup, tidak statis seperti yang dibayangkan oleh pemerintah dalam rencana.

Gerakan ini menyimpan potensi bagi sebuah rencana tata ruang partisipatif. Karena dengan mengorganisasikan diri, otomatis para anggota yang notabene mengalami ruang bisa berkontribusi aktif dalam penataan ruang. Anggapan bahwa masyarakat belum memiliki pengetahuan tentang tata ruang terbantahkan dengan adanya gerakan ini. Tinggal bagaimana membuat sebuah formulasi baru yang memberikan ruang partisipasi bagi masyarakat dalam penataan ruang yang diprakarsai pemerintah.

Mengutip Marco Kusumawijaya, pencetus Koalisi Jakarta 2030 dalam petikan petisinya; Proses perencanaan kota dapat melibatkan masyarakat (partisipatif) dalam tiga fungsi (minimal):
1. Sebagai aspirasi (hak politik).
2. Sebagai sumber pengetahuan dan daya membangun yang lebih baik
3. Sebagai sukarelawan untuk menyelenggarakan proses perencanaan partisipatif itu sendiri.
Ketiga fungsi minimal tersebut akan membangkitan komitmen individu dalam mensukseskan penataan ruang. Komitmen individu inilah yang akan membentuk kota yang baik, seperti apa yang dikatakan oleh Walt Whitman dua abad lampau.

Bacaan:
Blake, Emma. "Spatiality past and present: An interview with Edward Soja". Journal of Social Archaeology 2002; 2; 139. SAGE Publication

Soja, Edward W. "Writing the city spatially".CITY, VOL. 7, NO. 3, NOVEMBER 2003. Carfax Publishing

http://www.famouspoetsandpoems.com/poets/walt_whitman

http://rujak.org/2010/01/httptentukancompetisikita_ingin_rtrw_jakarta_2030_disusun_secara_benar/#respond

ditulis 19 April 2010

Selasa, 02 November 2010

Thanks Jack



Darn the wheel of the world! Why must it continually turn over? Where is the reverse gear?
Jack London

Rabu, 27 Oktober 2010

Kemabukan Pinggiran Jawa

Lama tak menulis, saya coba mulai lagi dengan mengomentari puisi Romo Sindhu(Sindhunata)"Cintamu Sepahit Topi Miring". Menarik bagi saya karena bicara soal kemabukan. Disini kemabukannya spesifik, monggo dibaca mulai dari puisinya lalu komentar keminter saya. Hahahaha, semoga berkenan.

Cintamu Sepahit Topi Miring

Senja di desa Baron
matahari tenggelam dalam kemaron
Lembu betina lari melompat-lompat
dikejar-kejar anaknya yang kecil meloncat
Senja lucu dengan kasih sayang ibu dan anak
langit senja mengandung sapi beranak
terpesona Ranto melihat, ia tertawa bergelak
dan berubah jadi Ranto Gudel, sang pelawak

Jadi Marmoyo di panggung ketoprak
Ranto Gudel meminum arak
Terendam dalam ciu
birahinya berubah jadi biru
Diajaknya Nyai Dasima bercinta
dengan cinta sepahit Topi Miring
Layar dibuka, turun hujan gembukan
Dewi Mlenukgembuk datang
membawa seguling roti cakwe
Marmoyo rebah terguling
tidur di pangkuan Nyai Dasima
yang sekeras ciu cangkol buah dadanya

Ke mana Ranto Gudel pergi
panggung selalu harum dengan arak wangi
Di Sriwedari jadi petruk
Garengnya diajak mabuk
Bagongnya menggeloyor
Semarnya berjualan ciu cangkol
Dengan terang lampu semprong
Pak Mloyo memukul kenong
nong ji, nong ro
giginya ompong menggerong:
Ranto Gudel Mendehem
Nyungsep di Bengawan Solo
di sana ia lalu menyanti:
Itu perahu, riwayatmu dulu
kini sungaimu mengalirkan arak wangi
dengan harumnya aku mandi

Thuyul gundhul ke sana sini mengempit gendul
gendruwo thela-thelo, tampak loyo
jrangkong jalannya miring-miring dhoyong
dhemit setan wedhon
anak-anak Bathari Durga dari bukit Krendhawahana
semuanya mabuk menari-nari:
Sengkuni leda-lede
mimpin baris ngarep dhewe
eh barisane menggok
Sengkuni kok malah ndheprok

Belum selesai menabuh kenong
Nong ji, nong ro
Pak Mloyo pulang geloyoran
Abu-abu wajahnya terendam ciu
Dari jauh Ranto Gudel melihatnya
duduk berjongkok di Bengawan Solo:
Air mengalir sampai jauh
membawa botol-botol cangkol
yang mengapung-apung seperti lampion
nyalanya bundar, seperti kenong
Pak Mloyo terguling ke Bengawan Solo
dengan irama nong ji nong ro
Ranto Gudel tertawa:
Itu perahu botol cangkol
mengalir sampai jauh
akhirnya ke laut berombak ciu

Malam berpayung hitam
hitam dibuka dengan bulan
Ranto Gudel minum arak bekonang
mengantar gadis pulang, berdandan bidan
roknya putih, bajunya putih
serba putih lebih daripada peri
Tiba di pinggir kali
Ranto Gudel diajak belok ke kiri
Rumahnya temaram
kursinya sedingin batu bulan
Birahinya menyentuh dingin
tergeletak ia di atas kijing
Dhemit elek asu tenan
mengumpat Ranto Gudel geram
Ia marah terendam arak bekonang:
Asu, hampir saja aku bercinta dengan setan

Cinta manusia seperti Umbul Penggung
dulu bening sekarang keruh
dulu kerajaan sekarang desa
Ranto Gudel dengan empat istrinya
tak pernah abadi cintanya

Memang enak jadi wedhus daripada manusia
bila mati, manusia dikubur di gundukan tanah
kepalanya dikencingi wedhus yang merumput
Nasib manusia hanyalah sengsara sampai akhirnya
mengapa kita mesti bersusah?
Hiduplah seperti Joko Lelur
siangnya melamun minum limun
malamnya bangun minum berminum
lapen ciu cangkol arak bekonang

Sekarang di sudut-sudut rumah
botol-botol cangkol dipasangnya
untuk menolak dan menakut-nakuti tikus
Di hari tuanya Mbah Ranto mengenang
bayangkan, ciu cangkol hanyalah spiritus
yang bisa mengusir tikus
padahal dulu aku minum sampai lampus:
Aku memang benar-benar wedhus!

Hueek.
Hueeeeek.
Hueeeeeeeek.
Wis wis......

puisi : Sindhunata

Puisi yang di buat Romo Sindhu ini menggelitik dan sangat etnik. Pilihan setting, kata dan tokohnya sangatlah jawa. Setting yang dimulai dari Desa Baron, Sriwedari hingga Bengawan Solo. Pertunjukan ketoprak dan tokoh-tokoh dari Ranto (yang menjadi Gudel sampai mbah Ranto), Pak Mloyo, Tokoh wayang (Gareng,Bagong, Semar dan Sengkuni hingga Betari Durga), Nyai Dasima dan Joko Lelur. Kata yang dipakai memuat soal: Makanan (cakwe), hantu (Tuyul, jrangkong, Genderuwo), alat musik (kenong) dan umpatan (asu) langsung terasosiasikan pada kehidupan jawa pinggiran. Puisi ini kurang lebih, Menceritakan kemabukan akan kehidupan yang mabuk dengan cara jawa pinggiran, mungkin demikian saya bisa menafsirkannya.

"Lapen ciu cangkol arak bekonang"

potongan bait ini menunjuk jenis minuman yaitu ciu dan daerah penghasilnya Bekonang. Ciu adalah minuman keras yang dihasilkan dari fermentasi tetes tebu, jika dilanjutkan pengolahannya akan menghasilkan etanol alias spiritus (yang kemudian di sebut juga di bait berikutnya). Minuman ini sangatlah pinggiran, dari asal daerah pembuatnya bekonang, pinggiran kota solo. Hingga peminumnya yang relatif proletar, paling tidak lewat suasana yang dibangun di puisi ini. Akan lebih terasa jika anda sempatkan berjalan-jalan di Kota Solo, jalan-jalanlah di sekitar pasar tempat tukang becak atau tukang parkir mangkal. Bertanyalah tentang ciu pada mereka, pasti akan menarik informasinya. Untuk topi miring kurang lebihnya sama, merk minuman yang populer untuk proletar, botol satuan satu liternya biasa dipakai buat bensin eceran.

Oh ya, Jahanam grup musik rap asal Jogja mengadopsinya menjadi lagu. Jahanam sendiri selalu menggunakan bahasa jawa dalam liriknya. Salah satu lagunya yang hits semasa saya masih kuliah adalah "Tumini". Kalau anda berminat bisa diunduh disini http://www.4shared.com/get/wsjuPMhO/Jahanam__-_Cintamu_Sepahit_Top.html
Dalam lagunya yang satu ini, jahanam menggunakan bahasa indonesia, seperti puisi yang diadopsinya.


Menurut saya, yang paling menarik adalah judulnya : Cintamu Sepahit Topi Miring, tapi hanya empat bait yang menyebut soal cinta

"Diajaknya Nyai Dasima bercinta
dengan cinta sepahit Topi Miring"

Dan cinta di bait ini pun sangat mungkin mengarahkan pembaca untuk menafsirkannya sebagai seks. Apalagi kalau merujuk pada bait sebelumnya

"Ranto Gudel meminum arak
Terendam dalam ciu
birahinya berubah jadi biru"

Seperti anak dugem masa kini yang setelah mabuk kemudian cari pasangan untuk check in. Cuma settingnya yang berbeda. Mereka urban, dan ini pinggiran jawa. Mereka minum coctail, Ranto minum ciu cangkol. Ternyata ada kesamaan dalam minumannya, ada dua huruf c disana, antara coctail dan ciu cangkol.

di bait lainnya pun soal cinta dibahas pahit, tanpa keberadaan si topi miring:

"Cinta manusia seperti Umbul Penggung
dulu bening sekarang keruh
dulu kerajaan sekarang desa
Ranto Gudel dengan empat istrinya
tak pernah abadi cintanya"

Kemabukan yang diangkat dalam puisi ini dilantunkan sebisa mungkin dengan cara yang mabuk pula, melantur (ndleming dalam bahasa jawa) dan ini memperkuat imajinya. Tentu dengan cara melantur yang puitis dan menunjukkan pengetahuan penulisnya lewat latar belakang budaya yang diangkat lewat kata. Cara menunjukkan kemabukan cara jawa pinggiran yang proletar dan lucu. Mengakhirinya pun romantik, yaitu dengan muntah (jackpot), diakhiri dengan kata "wis" alias sudah.

Mesin Pencari